Sabtu, April 12, 2008

MEMBANGUN BANGSA DENGAN MORALITAS BUDAYA

MEMBANGUN BANGSA DENGAN MORALITAS BUDAYA

Bangsa yang maknur sejahtera dan penuh dengan kedamaain adalah sebuah dambaan bagi seluruh masyarakat indonesia. Dan tidak dapat di pungkiri bahwa semuanya itu tiak akan dapat terwujud dan terelaisasikam sesuai dengan tujan bansga. Karena terciptanya sebuah perdamaain dan kemakmuran suatu bansga tidak bisa di lepaskan dari masyarakat yangberbudaya dan bermoralitas yang mempunyai sifat transformatif. Karena keduahal ini sangat penting sekali untuk menopang tegaknya bangsa dan negara. Karena suatu negara banagsa tiadak hanya perlu adanya pemerintahan yang baik tetapi perlu juaga masyarakat yang mempunyai pegangan budaya yang bermoral. Sehingga dua faktor untuk menegakkan bangsa perlu adanya moralitasa dari masyarakat dan khazanah budaya lokal kita yang sudah di turunkan oleh nenek moyang kita.
Dalam hal ini moralitas sangat penting sekali. Walaupun bangsa kita terkenal dengan banagsa yang mempunyai sifat religius tinggi, tetapi tidak di imbangi sifat spritualitas yang tinggi juga. Artinya nilai-nilai dalam agama tidak dapat dilaksanakan atau subtansi dari ajaran suatu agama tidak di dapat. Sehingga menjadikan bangsa kita bangsa yang mempunyai masyarakat mati setengah badan. Untuk menjadikan bangsa yang mempunyai moralitas tidak cukup dengan pengajaran tentang moral saja. Tetapi perlu adanya pendidikan moral yang mampu melihat realirtas yang ada.
Melihat masyarakat kita sekarang ini yang semakin lama semakin hancur moralnya. Dan semakin jauh dari moralitas bangsa yang kita punyai. Sehingga hal itu manjdikan pekerjaan bagi kita semua untuk dapat merubahnya. Kehancuran moralitas kita banyak sekali di pengaruhi oleh moralitas dari luar yang mana hal itu tidak sesuai dengan ajaran moralitas yang di kita punya. Karena ajaran yang dari luar lebih banyak berorientasi pada segi matrial dan segi individualisme. Hal itu terbukti dengan adanya sistem kapitalisme yang mana kebih berprioritas pada penumpukan kekayaan individu. Sehingga menjadikan masyrakat kita yang sudah terpengaruh oleh ajaran kapitalisme mulai dari level masyrakat bawah sampai level masyarakat yang tinggi atau masyarakat yang mempunyai jabatan dalam struktur pemerintahan ingin mencari kekayaan yang sebanyak-banyaknya walaupun dengan cara yang merugikan bagi khalayak umum hal itu seperti korupsi, perampokan, pelacuran. Moralitas dari luar tidak dapat melihat realaitas yang ada yang dalam Masyarakat kita sehingga hal itu menjadikan tidak cocoknya ajaran itu bila di gunakan untuk masyarakat kita. Mayarakat kita masyarakat yang sudah mempunyai ajaran tentang moralitas yaitu ajaran yang menganjurkan untuk hidup Nerimo Ing Pandum. Semua kehancuran moral bangsa kita lebih banyak di pengaruhi oleh keinginnan untuk mendapat materi yang banyak.
Pendidikan untuk moralitas tidak cukup hanya sebatas pada pengajaraan formal yang kita punya, tetapi perlu adanya pengajaran moralitas yang bersifat praktik dan bersifat atau menekankan pada subtansi pengajaran moral, pengajaran moral yang dari luar tidak bisa melihat realitas bangsa kita karena hal itu nanti tidak dapat di gunakan untuk melihat realitas yang ada sekarang pada masyarakat. Tidak cukup bila hanya satu sistem pengajaran moralitas tetapi perlu adanya perbandingan agar nanti masyarakat kita dapat menelaah mana ajaran yang pas untuk di terapkan pada diri bangsa kita.
Subtansi ajaran moralitas kita yang telah diajarkan oleh nenek oyang kita tidak mempunyai orientasi lain kecuali berorientasi pada pembentukan segi jiwa dan bathin seseorang untuk dapat hidup berdampingan dengan masyarakat yang lain atau manusia yang lain. Berbeda sekali dengan ajaran yang dari luar lebih berorientasi pada pencaraian material. Walaupun itu baik untuk mencari penghidupan tetapi yang tidak sesuai dengan yang ada di daldam moral kita dalah cara yang di guakan untuk mencari.
Yang tidak kala penting dalam membangun bangsa selain dari aspek moral adalah aspek budaya. Dalam hal ini budaya sangat berpengaruh seklai karena budaya adalah sebuah kebiasaan yang mempengaruhi tingkah laku manuisa dalam kehidupan sehari-hari atau dengan kata lain pembentuk perilaku manusia. untuk itu jikalau budaya kita sudah tidak sesuai dengan tatanan sosial yang ada mka hal itu akan menjadikan sebuah ketimpangan dalam khidupan sosial. Sudah menjadi tugas kita untuk mernjjaga tatanan budaya yang luhur yang di turunkan oleh nenek moyang kita supaya tidak terpengaruh dengan budaya-budaya yang tidak sesuia dengan tatana sosial kita. Sadar atau tidak sadar kita pda sekarang ini terjajah lagi, walaupun penjajahan itu tidak tampak. Penjajahan yang ada pada kita sekarang ini berbentuk penjahaan ideologi dan penjajahan secara ekonomi.
Karena kedua itu adalah dasar pda kehidupan manusia, seperti penjahan secara ideologi itu nanti akan mempengaruhi daya pikir kita atau kepercayaan pada diir kita. Ideologi yang ada yang sesuai dengan diri kita adalah ideologi yangbersifat benar-benar pada kenyakinan. Tetapi ideologi yang baru yang mana datangnya dari pihak dari kta lebih banyak mengadung keyakinan yang berupa kenyakinan untuk mendapat finanasial yang banyak tanpa harus memperhatikan orang lain karena itu beda dengan tatanan budaya kita gotong royong dan kebersamaan dala satu rasa. Disamping itu juga penancapan ideologi yang dari luar mempunyai banyak jalan seperti tayangan telivisi. Secara sadar sudah banyak tayangan telivisi yang dari luar yang mendominasi dalam kancah pertelivisian kita terutama tayangan anak-anak dan ironis banyak yang berbau pada kerasan walaupun itu dalam bentuk kartun.
Jadi dalam hal ini anak-anak generasi bangsa kita mulai darikecil sudah di tancapkan pada diri mereka sebuah ideologi dari tayangan TV yang mana hal itu banyak yang tidak sesuai sdengan tatanan budaya kita. Sudah terbukti dengan jelas banayak tingkah laku generasi bangasa ini yang yang meniru gaya yang ada pada tayanganb telivisi, pserti terjadinya kekerasan anak setelah mereka nonton tyayuangna telivisi yang berbentuk gulat jadi perlu adanya pegawasan yang ketat jika anak banyak menonton yang berbau pada kekerasan dan pertarungna.
Dan ang banyak dalam interkasi sosial adalah dalam bidang ekonomi0,karena dalam hal ini semua manusia mengalami nya interaksi dalam hal ekonomi. Mau tidak au bangsa kita harus menganut sistem ekonomi internasional yang telah di kuasai ataui dalam genggamman amerika karena bnagsa kita telah terikat dengan World Trade Organitation ( WTO). Jadi semua keputusan yang berkaitan dngan ekonomi harus menganut sistem internasional. Utnuk dapat memutuskan kebijakan yang sesusain dengan kondisis bangsa kita. Kita harus dapat keluar dari sebuah genggamman itu.
Karena sisitem ang da lebih menekannkan pada sistemperbudajkan artinya manusia pkerja hanya di pandang sebgai budakyang da[at menghasilkan keuntungan. Hal itu berbeda sekali dengan kulutr bangsa kita menekiankan pada sistem kekeluargaan atau dalam bahasa jawanya mangan ora’ mangan sepenting kumpul . sehingga kita harus melakukan revitalisasi untuk bisa menonjolkan kultur bansa kita di dalam mengaturn bangasa dan negara.
Akhirnya, semua itu tidak dapat berubah tanpa aa suatu gerakian unutk merubahnya. Sudah menjadi tugas kita sebagai Agent Social Of Change untuk dapat6 melakukan perubahan untuk bangasa yang sesuai dngan kultur dan tatanan kehidupan bagasa ini. Tanpa adanya suatu perubhan maka kita semua kakan tetap dalam genggamman konnspirasi dunia. Dan kehidupan kita tidak aman dan tidak mempunyai arti karena kzanah budaya kita nyang sesuai dengan tatanan banagsa kita sudah hilang. Dan kahirnya, perubahan adalah suatu yang harus kita lakukan.

KEDUDUKAN, FUNGSI DAN PEMBAGIAN HARTA SERTA KIBAT HUKUMNYA

KEDUDUKAN, FUNGSI DAN PEMBAGIAN HARTA SERTA KIBAT HUKUMNYA

I. PENDAHULUAN

Dalam mua’malah tidak hanya membahas apa yang telah menjadi ketetapan dalam arti mu’amalah yang secara luas atau dengan kata lain yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat timbal balik. Tetapi dalam perkembagan yang ada terjadi suatu hal yan harus diketahui juga yang berhubungan mengenai mu’amalah yaitu adalah tentang ketarangn dan tata aturan tentang peredaran dan pemanfaatan harta.

Karena dalam hal ini harta adalah salah satu aspek terpenting yang dapat menunjang berlangsungnya kegiatan mu’amalah. Harta adalah sebuah kajian yang sangat penting karena juga melihat bahwa harta yang ada adalah sebagai landasan picu dalam berinteraksi. Dan segala hal yang dapat disimpan dan dapat bertahan lama dapat di sebut sebagai harta.

Maka dari sebuah hal yang mendasari dasar bagian ini maka kami akan membahas beberapa hal mengenai kedudukan harta, fungsi, dan pembagiaan harta beserta hal ikhwalnya, untuk lebih jelasnya kami akan membahasnya berikut ini dalam pembahasan.

II. PEMBAHASAN

  1. PENGERTIAN HARTA ?

Dalam suatu kajian ilmiah perlu dijeasakan juga mengenai suatu hal yang berkaitan dengan suatu objek yang akan di kaji, maka untuk menyamakan suatu pandangan yamng bersifat ilmiah maka penulis akan menjelaskan tentang pengertian harta baik secara lughawi maupun secara istilah. Harta dalam kajian kebahasaaan arab di sebut, al mal yang berasal dari kata …………………………. Yang mempunyai arti dalam kajian kebahasan arab disebut condong, cenderung, dan miring. Hal ini sangat beriringan sekali dan pas karena harta yang ada pasti dimilki oleh seseorang sehingga menjadikannya codong kepada yang harta. Sedangka harta (al mal) menurut istilah Imam Hanafiyah ialah :

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….

sesuatu yang digandrungi tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan”.

Harta mesti dapat disimpan sehingga sesuatu yang tidak dapat disimpan tidak dapat disebut harta. Sehingga demikian harta sebagai hal yang dapat disimpan dan hal itu nantinya dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan kegiatan mu’amalah. Tetapi menurut pandangan Hanafiyyah dibedakan antara harta dan manfaat, karena dalam ini ia menerangkan bahwa manfaat bukan sebagai harta, tetapi manfaat termasuk milik karena Hanafiyyah membedakan antar milik dan harta.

Harta adalah sesuatu yang dapat disimpan dan dapat digunakan ketika dibutuhkan, dan dalam hal ini harta sebagai suatu hal yang berwujud (a’yan). Sedangkan harta menurut sebagian ulama ialah :

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

sesutau yang diinginkan manusia berdasarkan tabiatnya, baik manusia itu akan memebrikannya atau akan menyimpannya.”

Dari hal ini diketahui bahwa suatu hal yang diinginkan oleh manusia berdasar naluri tabiat kemanusiaannya baik akan disimpan maupun akan dipergunakannya atau memberikannya. Sehingga dapat diketahui bahwa sebagian ulama berpandangan bahwa harta adalah sebagai suatu hal yang ingin dimiliki oleh manusia berdasarkan naluri tabiat kemanusiannya. Dan menurut sebagian ulama yang lain bahwa yang di maksud harta adalah :

……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

segala zat (‘ain) yang berharga, bersifat materi yang berputar di antara manusia”.

Dengan pengertian ulama yang lain di atas dapat diambil sebuah ketetapan lain tentang pengertian harta adalah sebagai zat yang bersifat materi yang berputar dikalangan atau disekitar manusia dan dalam putarannya diiringi dengan sebuah interaksi. Materi yang dimaksud disini adalah sebagai materi yang bernilai dan mempunyia sifat yang dapat diputarkan diantara manusia.

Sedangkan hal yang lain tentang pengertian harta adalah yang diungkapkan oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy[1] menerangkan bahwa yang dimaksud harta ialah :

1. Nama selain manusia yang diciptakan Allah untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat, dan dikelola (tasharruf) dengan jalan ikhtiar.

2. sesuatu yang dapat dimilki oleh setiap manusia, baik oleh seluruh manusia maupun oleh sebagian manusia

3. sesuatu yang sah untuk diperjual belikan

4. sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai (harga) seperti sebiji beras dapat dimilki oleh manuisa, dapat diambil kegunaannya dan dapat disimpan, tetapi sebiji beras menurut ‘urf tidak bernilai (berharga), maka sebiji beras tidak termasuk harta.

5. sesuatu yang berwujud, sesuatu yang tidak berwujud meskipun dapat diambil manfaatnya tidak termasuk harta, misalnya manfaat, karena manfaat tidak berwujud sehingga tidak termasuk harta.

6. sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan dapat diambil manfaatnya ketika dibutuhkan.

Dengan apa yang dijelaskan diatas dapat diambil sebuah penalaran dan kesimpulan bahwa pengertian harta seperti apa yang dikemukakan oleh para ahli diatas masih terdapat sebuah perbedaan pendapat tentang pengertian yang pasti tentang harta. Ulama Hanafiyyah menyatakan bahwa harta adalah sesuatu yang berwujud dan dapat disimpan sehingga sesuatu yang tidak berwujud dan tidak dapat disimpan tidak termasuk harta, seperti hak dan manfaat. Karena manfaat adalah sebagai milik.

Perbedaan yang terdapat dianatara para ulama diatas dikarenakan penglihatan meraka dari segi pandang yang berbeda-beda. Untuk hal itu bisa dikarenakan karena unsur yang membangun pengertian harta. Menurut para Fuqaha harta berdasar pada dua sendi yaitu unsur ‘aniyah dan unsur ‘urf. Unsur yang pertama adalah unsur ‘aniyah mempunyai maksud bahwa harta itu ada wujudnya dalam kenyataan (a’ayan). Jadi manfaat dari suatu harta bukan termasuk harta seperti contoh bahwa sebuah rumah adalah harta tetapi manfaat yang ada dari rumah bukan sebuah harta tetapi termasuk milik atau hak.

Unsur yang kedua yang membangun suatu harta adalah unsur ‘urf ialah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya, baik manfaat madiyah maupun manfaat ma’nawiyah.

  1. KEDUDUKAN HARTA ?

Sebuah hal yang terpenting yang harus diketahui dalam penggunaan harta adalah keduduakan harta, karena dalam hal ini sangat penting sekali agar nantinya tidak terjadi sebuah salah dalam penggunaan harta. Karena harta sangat berperan sekali dalam kehidupan manusia, hal itu terbukti bahwa dizaman yang sangat multikultural ini sebuah harta mempunyai kedudukan yang sangat tinggi didalam interaksi dalam kehidupan. Dijelaskan dalam al-qur’an bahwa harta merupakan perhiasan hidup, hal ini seperti pada firman Allah dalam surat Al-Kahfi : 46 yang artinya “harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia”. Pada ayat itu diterangkan bahwa kebutuhan manusia atau kesenangan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadap anak atau keturunan. Jadi salah satu kebutuhan yang mendasar bagi manusia adalah sebuah harta.

Karena yang namanya perhiasan pasti sebuah aksesoris yang dapat memprindah orang yang memakainya jadi kalau orang yang tidak mempunyai harta maka sebuah unsur keindahannya dari dirinya akan hilang. Sebuah paradigma yang seperti ini terlepas dari yang namanya unsur keimanan, karena setiap manusia itu mempunyai sebuah iman baik yang punya harta atau yang tidak punya harta.

Disamping sebagai sebuah perhiasan harta juga mempunyai kedudukan sebagai sebuah amanat (fitnah), hal ini sebagaiman firman Allah :

…………………………………………………………………………………

sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan dan disisi Allahlah pahala yang besar”.(Al-Taghabun: 15).

Dari penggalan ayat diatas dapat diambil sebuah pemikiran bahwa harta adalah sebagian cobaan hidup, yang harus dilewati manusia. Karena sebuah cobaan adalah sebagai proses untuk kedepan yang lebih baik. Melihat status harta sebagai titipan yang itu sebagai pemberian amanat yang harus di jaga. Secara hakikinya bahwa manusia tidak memliki harta secara mutlak sehingga dalam hal itu masih ada suatu hal yang harus dilakukan oleh yang di beri amanat untuk dapat menpergunakanya dengan baik karena didalamnya masih terdapat hak orang lain, seperti zakat harta dan lainya.

Selain sebagai amanat harta juga berkedudukan sebagai musuh, tetapi ayat yang menerangkan secara mendetail dan menjurus bahwa harta adalah sebagai musuh tidak ada, tetapi yang ada hanyalah sebuah penyamaaan dan penyandingan ayat. Ayat itu adalah :

…………………………………………………………………………………

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka hati-hatilah kamu terhadap mereka”.(Al-Taghabun: 14).

Dari penggalan ayat diatas dijelaskan bahwa harta berkedudukan sebagai musuh. Ayat tersebut menjelaskan bahwa diantara istri-istri dan anak-anak ada yang menjadi musuh. Di ayat yang sebelumnya dijelaskan antara anak-anak dan harta di hubungkan dengan wawu athaf, dengan menggunakan prinsip Dalalat Al-Iqtiran dalam ushul fiqh, dijelaskan bahwa sesuatu yang dijelaskan dengan wawu athaf adalah berkedudukan sama dalam hukumnya. Jadi hukum anak-anak yang terdapat pada surat Al-Taghabun: 14 adalah sebagai sebuah musuh, sehingga menjadikan hukum harta yang terdapat pada surat al-kahfi 46 juga sama hukumnya dengan anak-anak yaitu sebagai musuh karena keduanya dihubungkan dengan wawu athaf. Sehingga keduanya mempunyia kedudukan yang sama.

Sebuah konsekuensi logis dari ayat-ayat al-qur’an yang terdapat pada hal diatas mempunyia sebuah grand maksud ialah sebagai berikut :

1. Manusia bukan pemilik mutlak, tetapi dibatasi oleh hak-hak Allah sehingga wajib baginya untuk mengeluarkan sebagian kecil hartanya untuk berzakat dan ibadah lainnya.

2. Cara-cara yang digunakan dalam pengambilan kegunaan terhadap suatu harta adalah harus mengarah kepada kemakmuran bersama, pelaksanaanya dapat diatur oleh masyarakat melalui wakil-wakilnya.

3. Harta perorangan boleh digunakan untuk umum, dengan syarat pemiliknya memperoleh imbalan yang wajar.

Disamping penggunaan harta yang harus memperhatikan kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi juga harus diperhatikan. Dengan hal itu maka berlakulah ketentuan-ketentuan sebagi berikut :

a. Masyarakat tidak boleh mengganggu dan melanggar kepeentigan pribadi selama tidak merugikan orang lain dan masyarakat.

b. Karena pemilikan manfaat harta berhubungan dengan hartanya, maka pemilik (manfaat) boleh memindahkan hak miliknya kepada orang lain, misalnya dengan cara menjualnya, menghibahkannya, dan sebagainya.

c. Pada dasarnya, pemilikan manfaat itu kekal, tidak terikat oleh waktu.

Berkenaan dengan harta di al-qur’an dijelaskan pula tentang larangan-larangan penggunaan harta yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi, dalam hal ini meliputi : produksi, distribusi dan konsumsi harta, dalam kaitan ini dapat dijelaskan bentuk-bentuk larangan tersebut sebagai berikut :

a. Perkara-perkara yang merendahkan martabat dan akhlak manusia, berupa :

1) Memakan harta sesama manusia dengan jalan yang tidak halal atau batal.

2) Memakan harta yang didapat dengan jalan penipuan.

3) Dengan jalan melanggar janji atau sumpah yang telah di buat.

4) Dihasilkan dengan jalan mencuri

b. Perkara yang merugikan hak perorangan dan kepentingan sebagian keseluruhan masyarakat, dengan cara perdagangan yang memakai bunga, firman Allah :

………………………………………………………………………………………………………………………………………………….

hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung”.(Ali Imran: 13).

c. Penimbunan harta dengan jalan kikir. Dan orang yang menimbum harta dengan maksud untuk meninggikan harga, sehingga ia memperoleh keuntungan yang berlipat ganda.

d. Penggunaan yang merupakan pemborosan. Baik itu dengan harta pribadi, perusahaan, masyarakat atau Negara yang bersifat mengeksploitasi sumber-sumber alam secara berlebihan dan tidak memperhatikan lingkungan.

e. Memproduksi, memperdagangkan, dan mengonsumsi barang-barang yang terlarang seperti narkotika dan minuman keras, kecuali untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

C. FUNGSI HARTA ?

Harta banyak di cari oleh banyak orang dikarenakan fungsi harta sangat banyak sekali dan selain itu harta juga sebagai perhiasan untuk kehidupan. Disamping berfungsi untuk kebaikan harta juga berfungsi dalam hal yang jelek. Dintara kesemuanya itu adalah :

a. Berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (Mahdhah), sebab ibadah yang bersifat syari’ati banyak yang menggunakan adanya suatu harta yang mana dalam mendapatkan suatu benda itu perlu adanya suatu harta. Dizaman perdagangan ini tidak ada yang gratis dan tidak akan di dapatkan dengan cara yang Cuma-Cuma, sehingga dari itu perlu adanya suatu harta untuk memilikinya. Seperti contoh ibadah shalat perlu adanya kain untuk menutup aurat agar bisa terpenuhi syarat shalat.

b. Untuk meningkatkan keimanan (ketakwaan) kepada Allah, sebab sebuah kefakiran cenderung mendekatkan diri kepada kekufuran sehingga pemilikan harta dimaksudkan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Hal ini bisa dimanfaatkan dengan cara penyantunan terhadap orang-orang yang membutuhkan. Terkadang harta juga berfungsi sebagai landasan untuk peningkatan keimanan, hal ini bias dengan cara mengelurakan zakat yang mana bisa dimaksudkan mensucikan harta dan hal itu juga sebagai standar untuk peningkatan keimanan.

c. Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode berikutnya, sebagaiman firman Allah :

……………………………………………………………………………………………………………………………………………

”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.(Al-Nisa: 9).

Dari ayat tersebut dapat diambil sebuah pemikiran baru bahwa diharapkan manusia takut kepada Allah untuk meninggalkan generasinya yang masih lemah yang mana khawatiran itu disebabkan karena takut tidak bisa memberikan nafkah. Jadi dalam hal ini harta juga berfungsi sebagai jalan untuk meneruskan suatu generasi kehidupan dari fase satu ke fase yang berikutnya.

d. Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat. Karena keseimbangan kehidupan yang nantinya dapat membawa manusia ke jalan kesenangan. Hal ini seperti hadits Nabi SAW :

……………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Bukan;ah orang yang baik yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan yang meninggalkan, masalah akhirat untuk urusan dunia, sehingga seimbang diantara keduanya, karena masalah dunia adalah menyampaikan manusia kepada masalah akhirat.”(Riwayat Al Bukhari).

Dari hadits tersebut diterangkan bahwa kehidupan yang baik bukanlah kehidupan yang mementingkan kehidupan akhirat, tetapi perlu ada keseimbangan kehidupan dunia yaitu dengan jalan mencari harta untuk keberlangsungan hidup di dunia.

e. Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena orang yang menuntut ilmu itu perlu adanya suatu modal baik itu untuk kehidupan sehari-hari maupun modal untuk membayar pendidikannya. Dan dalam pengembangan hartanya juga diperlukan untuk memperlancar pencarian bahan yang diperlukan untuk digunakan dalam pengembangan ilmu.

f. Untuk menumbuhkan silaturahmi, karena adanya perbedaan dan keperluaan. Tetapi ada hal lain yang lebih penting kegunanaan harta adalah untuk mempererat tali silaturahmi antara manusia bukannya dari segi pertukaran harta tetapi lebih dari itu yang berupa saling silaturahmi antar keluarga yang dekat dengan keluarga yang jauh. Karena untuk berkunjung antara yang satu perlu adanya suatu alat tranportasi yang menunjang untuk saling berkunjung, yang mana alat yang digunakan tanpa adanya suatu modal tetapi perlu adanya suatu modal untuk memperoleh dan mempergunakannya.

Dari hal-hal diatas adalah fungsi harta yang di gunakan untuk kebaikan dan untuk jalan menuju keakhirat. Dan mengenai harta yang dapat digunakan untuk kejelekan itu banyak sekali, dan tidak perlu kita jelaskan karena masing-masing person sudah tahu mana yang jelek dan mana yang bagus. Jadi hanya sebuah gambaran tentang pemanfaatan harta yang digunakan untuk kebagusan yang kita paparkan.

D. PEMBAGIAAN HARTA SERTA AKIBAT HUKUMNYA

Menurut para fuqaha harta dapat di tinjau dari beberapa segi. Dan harta yang terdapat dalam muamalah terdiri dari beberapa bagian, dan masing-masing itu memiliki ciri khusus dan hukumnya tersendiri. Berikut adalah beberapa pembagian harta menurut golongan masing-masing dan menurut hukum masing asing-maisng :

1. Mal Mutaqawwim Dan Ghair Mutaqawwim

a. Harta yang berharga (mutaqawwim) ialah setiap harta yang disimpan oleh seseorang dan syara` mengharuskan penggunaannya dan cara yang digunakan untuk memperolehnya adalah dengan jalan yang baik yang dibenarkan oleh syara’. Contohnya seperti daging kambing halal dimakan, tetapi dalam penyembelihan kambing itu menggunakan cara yang tidak dibenarkan oleh syara’ maka daging kambing itu menjadi batal menurut syara’. Jadi dalam kasus seperti ini ada hal yang tidak memperbolehkan untuk memanfaatkan harta itu (daging).

b. Harta yang tidak berharga (Ghayr Mutaqawwim) ialah harta yang tidak di dalam simpanan atau dimiliki orang, dan harta yang tidak boleh diambil manfatnya, baik itu jenis, cara memperolehnya maupun cara penggunaannya. Harta yang seperti ini adalah kebalikan dari harta yang berharga (mutaqawwim).

Dari kedua hal diatas mempunyai sebuah tujuan yang mana untuk sebuah kepentingan yang agar nantinya tidak ada hal yang melenceng :

a) Harta yang berharga sah untuk semua urusan berakad dengannya seperti berjual beli, hibah, meminjam, gadaian, wasiat dan bersyarikat.

b) Harta yang tidak berharga tidak sah berakad dalam semua urusan seperti tidak sah menjual arak dan babi.

c) Wajib membayar ganti rugi oleh orang yang merosakkan harta yang berharga sama ada ganti rugi barang yang serupa sekiranya ada atau membayar nilai harganya.

d) Harta yang tidak berharga tidak wajib membayar ganti rugi orang yang merosakkannya

2. Mal Mitsli Dan Mal Qimi

a. Mal mistsli ialah harta yang ada sebanding atau serupa dengannya tanpa terdapat berlebih kurang dalam semua juzu`nya[2], atau dengan kata lain harta yang jenisnya mudah diperoleh secara persis. Harta yang seperti ini adalah harta yang cara memperolehnya sangat mudah di dapatkan dan banyak sekali imbangannya (persamaannya).

b. Mal Qimi ialah ialah harta yang tidak terdapat lagi di mana-mana yang serupa dengannya atau yang sebanding antara satu sama lain di pasar-pasar atau di kedai-kedai; atau tidak ada bagi harta itu yang serupa dengannya akan tetapi harganya berbeda antara satu dengan yang lain. Harta yang seperti itu bersifat pada tataran perbedaan pada semua segi atau salah satu unsur dari barang itu baik berupa ukuran, harga, dan lain sebaginya. Hukum dari kedua hal itu bersifat relative, jadi untuk kepastian hokum dari keduanya tidak bisa ditentukan secara sepihak. Harta mistli dapat berubah menjadi harta qimi dan begitu pula sebaliknya. Hal itu bias karena aspek :

a) Dengan sebab habis dalam pasaran, bila habis harta mitsliy di pasaran, maka bertukarlah harta mitsliy kepada harta qimi.

b) Bila bercampur aduk antara harta mitsli dengan harta qimi dan jenis keduanya berbeda, maka dengan sebab bercampur aduk kedua jenis harta mitsli itu maka bertukarlah keadaannya dari pada harta mitsli kepada harta qimi seperti bercampur antara beras dengan gandum dan sebagainya.

c) Sekiranya harta mitsliy telah berlaku kecacatan ataupun telah digunakan, maka jadilah ia harta qimi yang khusus. Harta qimi bertukar kepada harta mitsli apabila berlaku banyaknya harta qimi sesudah lainnya jarang diperolehi orang.

3. Harta Istihlak dan Harta Isti’mal

a. Harta istihlak adalah harta yang dalam pemakainannya harus menghabiskannya atau dengan kata lain hanya bisa dipakai satu kali pemakaian. Harta yang seperti ini dibagi menjadi dua bagian yaitu :harta istihlaki haqiqi dan istihlaki huquqi. Harta istihlaki haqiqi adalah harta yang sudah dimanfaatkan kegunaannya dan sudah jelas habis wujudnya. Dengan artian bahwa harta yang seperti ini dalam pemanfaatannya habis langsung dan tidak membekas. Sedangkan istihlaki huquqi adalah harta yang habis ketika digunakan tetapi wujud dari baarang itu masih atau dengan kata lain hanya berpindah kepemilikan.

b. Harta isti’mal yaitu harta yang dapat dipakai berulang kali atau dengan kata lain dapat digunakan berulang-ulang dan tidak akan habis wujud dan hak kepemilkikannya. Barang yang seperti ini buku, sepatu, celana.

4. Harta Manqul dan Harta Ghaiu Manqul

a. Harta manqul (harta alih) yaitu harta yang dapat dipindahkan baik itu zat wujud dari satu tempat ketempat yang lain. Harta dengan kriteria ini mempunyai sebuah keunggulan dalam bidang dapat dipindah-pindakan dari satu tempat ketempat yang lain.

b. Harta Ghair Manqul (tidak bergerak) ialah harta yang tidak dapat dipindah-pindah dari satu ketempat ketempat yang ,lain dan harta mempunyaia sifat tetap dan tidak bergerak. Kedua hal tersebut bila dilihat dari hukum positif disebut dengan benda bergerak dan benda tetap.

5. Harta ‘Ain dan Harta Dayn

a. Harta ‘Ain yaitu harta yang berbentuk benda, seperti rumah, pakaian, jambu dan lainnya. Harta yang seperti ini terbagi dalam 2 :

Ø Harta ‘ain dzati qimah yaitu benda yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta karena memiliki nilai.

Ø Harta ‘ain ghayr dzati qimah yaitu benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta karena tidak memilki nilai, misalnya sebiji beras.

b. Harta dayn adalah harta yang berada dalam tanggung jawab seseorang atau harta yang di hutang orang lain. Sehingga harta yang dipinjam itu beralih tanggung jawab kepada orang lain atau pihak penghutang.

6. Mal Al-‘Ain dan Mal Al-Naf’i

a. Mal al-‘ain ialah benda yang memiliki nilai dan berwujud. Hal yang ini mempunyai pengertian bahwa benda yang mempunyai nilai dan benda itu juga mempunyai wujud maka hal itu bisa disebut dengan harta.

b. Harta nafi’ a’radl yang berangsur-angsur tumbuh menurut perkembangan ,masa, oleh karena itu mal al-na’I tidak berwujud dan tidak disimpan.

7. Harta yang dapat dibagi dan harta yang tidak dapat dibagi

a. Harta yang dapat (Mal Qabil Li Al-Qismah) harta yang tidak dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan pada harta apabila harta itu di bagi, misalnya beras dan tepung.

b. Harta yang tidak dapat di bagi (Mal Ghair Qabil Li Al-Qismah) ialah harta yang akan menimbulkan kerusakan dan kerugian apabila harta itu di bagi-bagi, misal meja, gelas, pensil.

8. Harta pokok dan harta hasil (buah)

Harta pokok harta yang mungkin darinya terjadi harta yang lain, atau dengan kata lain harta modal. misalnya bulu domba di hasilkan dari domba maka domba asal bulu itu disebut modal. Dan bulu domba itu disebut sebagai harta hasil (buah). Atau dengan kata lain modalnya disebut harta pokok dan hasilnya disebut sebagai tsamarah.

9. Harta khas dan harta ‘am

Harta khas adalah harta pribadi, yang mana dalam pemilikannya tidak bersekutu dengan orang atau dengan kata lain yang boleh mengambil kemanfaatannya hanya orang yang punya saja. Sedangkan harta ‘am harta milik umum (bersama) ialah harta yang boleh diambil manfaat oleh umum atau dengan kata lain harta bersama. Dalam harta yang seperti ini bukan dalam maksud harta yang dimiliki oleh khalayak umum pada umumnya atau benda yang belum ada yang punya.

III. KESIMPULAN

1. Harta adalah sesuatu yang bermanfaat dan berbentuk dan mempunyai sebuah nilai yang dapat di simpan.

2. Harta dalam islam atau harta dalam kajian umum dapat berfungsi untuk kabaikan dan dapatpula berfungsi untuk kejahatan atau kejelekan.

3. Harta dapat berkedudukan sebagai penghias dan dapat pula sebagai musuh.

4. pembagian harta yang ada mu’amalah terbagi kedalam beberapa bagian yang mana dari itu semua mempinuyai sebuah kedudukan yang berbeda-beda.

IV. PENUTUP

Demikian hal yang dapat kita paparkan semoga, apa yang telah kami berikan dapat memberikan suatu wacana walaupun sedikit. Tetapi penulis masih yakin apa yang telah kami lakukan belum dapat mendekati kepada sebuah kebenaran yang mutlak dan sermpurna. Jadi dari penulis mohon sebuah saran yang bersifat konstruktif demi kemaslahatan kita bersama. Akhir kata kami mohon maaf atas segala kekurangan yang ada.

REFERENSI

Azhar, Ahmad,. Asas-Asas Hukum Muamalat, UII Pres, Yogyakarta

Karim, Helmi,.Fiqh Muamalah,Raja Wali Pers,Jakarta, 1997,Cet 2,

Suhendi, Hendi,Fiqh Muamalah, Raja Wali Pers, Jakarta,2002

www.lazim.com

www.pmium.org



[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hlm:10

[2] www.lazim.com

ഇജ്മ

IJMA’

I. PENDAHULUAN

Suatu kepastian hukum adalah suatu hal yang harus ada. Karena hukum sendiri bersifat mengatur tata kehidupan manusia, hukum itu sendiri harus bisa memberikan kepastian dan kemanfaatan terhadap manusia. jadi kalau hukum tidak dapat memberikan suatu kemanfaatan pada manusia maka hal itu tidak bisa di gunakan dalam berpijak. mengingat sangat urgensnya hukum maka dalam pengambilan suatu hukum harus bisa bersifat demokratis. Tidak mungkin dalam pengambilan hukum harus meninggalkan yang namanya sistem demokrasi. Tidak hanya dalam pengambilan hukum yang bersifat formal atau hukum negara saja yang harus bersifat demokrasi tetapi hukum dalam tataran agama pun harus bisa bersifat demokratis dalam pengambilannya.

Dan ijma’ sendiri adalah salah satu cara untuk pengambilan hukum pada tataran agama. Jadi ijma’ harus bisa berrsifat demokratis, karena ijma’ sendiri berperan penting dalam pengambilan hukum. Karena ijma’ mempunyai pijakan yaitui kesepakatan yang di utamakan dalam mencari kepastian suatu hukum dalam bidang fiqh dan dalam hal ini cara yang di tempuh bersifat musywaraah mufakat dan tidak menggunakan suara terbanyak yang menang.

Tidak mungkin sekali bila sebuah kepastian hukum yang di gunakan oleh orang banyak dalam pengambilannya tidak menyinggung khalayak umum. Dari orang yang diperbolehkan untuk ikut ijma’ adalah orang-orang yang benar-benar mampu dalam bidangnhya. Konsesssus merupakan salah satu sandaran yang di gunakan dalam ijma’. Maka pemkalah akan memaparkan tentang pengertian ijma, macam-macam ijma’, dasar-dasar ijma’, kemungkinan terjadinya ijma’, untuk lebih jelasnya kami akan memaprkannya dibawah ini.

II. RUMUSAN MASALAH

  1. Pengertian ijma’?

B. Macam-macam ijma’?

C. Dasar-dasar ijma’ ?

D. Kemungkinan terjadinya ijma'

III. PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’?

Secara Etimologi ijma’ adalah berarti “kesepakatan” atau Konsessus. Artinya suatu kesepakatan dalam pengambilan bidang hukum dalam ilmu fiqh. Hal yang seperti ini di terangkan atau di jumpai dalam surat yusuf, 12: 15, yaitu :

Artinya : maka tatkala mereka membawa dan sepakat memasukkan kedasar sumur….

Dan pengerrtian yang kedua dari ijma’ adalah ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau dengan kata lain tekad atau niat (hal 51). Hal yang seperti ini ditemukan dalam surat yunus :10:71 : . antara pengertian yang pertama dengan yang kedua terdapat perbedaan yaitu pada segi kuantitas orang yang melakukan ketetapan hati. Arti yang pertama hanya cukup pada satu tekad orang saja, sedangkan yang kedua pada ketetapan tekad bersama hal itu bisa dilihat dari kata “kumpulkanlah” pada arti kata surat Yunus. Jadi kalu lebih ditekan mengenai pengertian diatas lebih menekankan pada pengertian kedua yang bisa di jadikan landasan yang besar dalam melakukan ijma’.

Adapun pengertian ijma’ secara Terminologi mempunyai beberapa rumusan ijma’, seperti yang dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh. Ibrahim ibn Al-Nazzam, salah satu tokoh mu’tazilah merumuskan Ijma’ dengan “setiap pendapat yang didukung dengan hujjah, sekalipun pendapat muncul dari seseorang”. Hal senada juga dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali bahwa ijma’ “kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang masalah agama”. Rumusan yang di berikan oleh imam Al-Ghazali memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad yaitu seluruh umat islam termasuk orang awam. Dan Al-Ghazali tidak mendefinisikan bahwa ijma’ harus dilakukan setelah nabi, karena ia memandang bahwa Rasullulah sebagai Syar’I (penentu/pembuat hukum) dan tidak memerlukan ijma’ lagi jadi al_Ghazali tidak perlu mendefinisikan lagi.

Rumusan ijma’ yang dikemukan oleh imam Al-Amidi yang mengikuti pandangan imam Syafi’I menyatakan bahwa ijma’ harus dilakukan oleh seluruh umat islam karena kesepakatan yang dilakukan bersama akan terhindar dari sebuah kesalahan. Tetapi imam Al-Amidi tidak mempatenkan pendapatnya itu karena imam Al-Amidi mempunyai rumusan lagi tentang ijma’ yaitu “kesepakatan sekelompok ahl al-hall wa al-‘aqdi yaitu sebuah rumusan yang menekankan kesepakatan pada sebuah kelompok dan pada suatu masa tentang masalah hukum fiqh. Rumusan ini mengisyaratkan bahwa yang terlibat dalam sebuah ijma’ tidak semua orang, melainkan orang tertentu yang bertanggung jawab kepada umat dan mampu untuk melakukan ijma’.

Menurut jumhur ulama’ ushul fiqh, merumuskan ijma’ sebagai “kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad dan setelah wafatnya muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum syar’i. Muhammad Abu Zahrah menambahkan sebuah kalimat di akhir derfinisi tersebut yaitu ijma’ harus bersifat hukum Amaliyah, artinya hasil yang di capai dalam ijma’ harus hukum yang bersifat furu’ (amaliyah praktis). Dan ijma’ disepakati oleh ulama ushul fiqh pada suatu masa tertentu artinya kesepakatan yang diambil harus oleh ulama’ yang ada pada masa itu atau dengan kata lain ulama’ yang hidup pada masa ditetapkan hukum itu, dan apabila ada ulama’ yang tidak sepakat maka keputusan yang ada belum bisa dikatakan dengan ijma, karena masih ada ulama yang tidak sepakat, jika hal itu dilihat dari segi pengertian dan maksud awal dari pengertian ijma’. Dan kesepakatan yang ada tidak harus oleh semua ulam’a tetapi cukup yang ada pada masa terjadi keputusan.

B. Macam-macam ijma’?

Seperti suatu hal mengenai landasan untuk mencari hukum dalam islam. Ijma’ mempunyai beberapa macam bentuk, yang mana dari masing-masing bentuk mempunyai peranan dan tingkatan keabsahan tersendiri. Hal itu semua bisa dilihat dari segi cara terjadinya ijma’ dan dari segi yakin atau tidaknya terjadi ijma’ adalah :

a. Bila di lihat dari segi cara terjadinya ijma’.

Hal ini adalah sebagai hal yang mana menerangkan bagaimana preses terjadi ijma’ bila dilihat dari segi cara terjadinya atau terbentuk. Cara terbentuknya ijma’ di bagi menjadi 2 bentuk ijma’ yaitu :

1. ijma’ Bayani yaitu suatu hukum yang ditetapkan oleh para ulama’ dengan tegas dan jelas, baik berupa tulisan atau ucapan, tanpa adanya suatu bantahan diantara para ulama, dan para ulama yakin bahwa hukum yang ditetapkan tidak ada kemungkinan berbeda dengan hukum yang telah di tetapkan sebelumya. Ijma’ yang seperti ini bisa dikatakan dengan ijma’ sharih atau lafzhi yang mana ijma’ ini adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap suatu masalah hukum, kesepakatan yang ditetapkan langsung dipaparkan atau diputuskan secara langsung setelah para mujtahid memaparkan pendapat masing-masing mengenai permasalahan yang ada.

Tetapi ijma’ yang seperti ini seperti yang dipaparkan oleh al-Nazam bahwa hal itu tidak akan terjadi, karena sangat jarang sekali untuk meghasilkan suatu kesepakatan bersama yang diambil dalam suatu majelis atau pertemuan yang dihadiri oleh seluruh mujtahid pada masa tertentu. Menurut ulama’ ushul fiqh bahwa apabila kejadian mengenai ijma’ yang seperti ini terjadi maka kesepakatan yang dihasilkan mengenai suatu hukum bisa dijadikan sebuah hujjah dan mempunyai kekuatan yang bersifat qath’I (pasti).

2. Ijma’ sukuti adalah ijma’ yang disetujui oleh sebagian ulama pada masa itu dan sebagian ynag lain hanya diam saja setelah mendengarkan pendapat dari sebagian ulama yang lain, atau dengan kata lain tidak memberikan pendapat dengan jelas dan tegas tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah ditentukan oleh ulama yang lain. Dan hokum yang dihasilakan tidak menyakinkan, oleh sebab itu ulama ushul fiqh menempatkannya sebagai dalil zhanni.

Ijma’ sukuti masih dalam perbedaan pendapat, bolehkah ijma’ sukuti menjadi hujjah atau tidak. Imam Syafi’I dan sebagian ulama-ulama Hanafi, seperti Ibnu iyan dan imam Al-Baqillani dari golongan Asy’ariyah menyatakan, bahwa ijma’ sukuti tidak dapat menjadi hujjah sebab masih ada kemungkinan ada ulama yang setuju dan adapula ulama yang tidak setuju. Tetapi mayoritas para ulama Hanafiyyah dan imam Ahmad ibn Hambal (164-241H/780-855M) mengatakan bahwa hal yang seperti itu bisa di katakan sebagai hujjah dan bersifat qath’I (pasti). Pendapat yang ketiga di keluarkan oleh Abu ‘Ali al-Jubbai (tokoh Mu’tazilah), ijma’ sukuti bisa dikatakan ijma’ apabila generasi mujtahid yang menyepakti mengenai suatu hokum itu telah habis, karena apabila mujtahid lain bersikap diam saja terhadap hukum yang disepakati sebagian mujtahid itu sampai mereka wafat, maka kemungkinan adanya mujtahiud yang membantah hokum tersebut tidak ada lagi. Al-Amidi mengambil suatu jalan tengah bahwa ijma’ sukuti tidak bisa dikatakan ijma’ tetapi dapat bisa dijadikan hujjah’ sedangkan kehujjahannya menurut mereka bersifat zhanni.

b. Di tinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’.

1. ijma’ qath’I yaitu hokum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’I diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hokum dari peristiwa atau kejadian yang telah di tetapkan berbeda dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain. Dalam bentuk ijma’ yang seperti para ushul fiqh yakin bahwa hasil dari hokum itu benar-benar betul tanpa adanya suatu kebimbangan, dengan hal itu menjadikan hukum yang di hasilkann menjadi yakin tanpa adanya suatu keraguan dan hukum yang dihasilkan sudah paten dan tidak ada kemungkinan yang lain. Kehujjahan ijma’ yang seperti itu benar-benar besar karena tidak ada perbedaan dengan ijma’ yang terdahulu.

2. Ijma’ Dhanni yaitu hukum yang dihasilkan dari ijma’ bersifat dhanni, karena masih ada kemungkinan lain bahwa dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu lain. Dengan begitu hukum yang diperoleh belum bisa diterima kehujjahnnya karena masih ada ulama yang belum bisa terima atau dengan kata lain masih ada keraguan m engenai kemungkinan yang akan terjasdi, sehingga menjadikan ijma’ dhanni ini sebagai ijma’ yangh belum bisa di terima kehujjahannya secara menyeluurh.

Selain kedua hal diatas menurut dalam kitab-kitab ushul fiqh terdapat pula macam-macam ijma’ yag dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang-orang yang melakukan atau melaksanakan ijma’ itu. Kesemuaya itu adalah :

1. Ijma’sahabat yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasullullah SAW.

2. Ijma’ khulafa-urrassyidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh khalifah Abu bakar, Umar Utsman dan Ali bin Abi Thalib.

3. Ijma’ syaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma’ ahli Madinah menurut madzhab Maliki adalah salah satu sumber hukum islam, tetapi Madzhab Syafi’I tidak mengakuiya sebagai salah satu sumber hukum islam.

4. Ijma’ ulama kufah yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama kufah. Madzab Hanafi menjadikan ijma’ ulama kufah sebagai salah satu sumber hukum islam.

C. Dasar-dasar ijma’ ?

Sebuah landasaan Dasar hukum yang menerabgkan tentang ijma’, yang mana menjadi pijkan dalam pengambilan hukum yang menggunakan sistem ijma’. Sebuah landasan atau dasar ijma' berupa ai-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran :

a. Al-Qur'an

Allah SWT berfirman:

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59)

Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid. Sehingga menjadikan hal itu sebagai salah satu mengenai ijam’. Karena raja atau pemimpin dalah pengayom seluruh masyarakat yang ada pada waktu itu, dan menjadikan pengendali masyarakat artinya seorang pemimpin adalah sebagai jalur tranmisi dalam pengambilan suatu hokum yamng menggunakan metode ijama’.

Sehingga dapat di pahami dan dimengerti bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin. Keputusan yang diambil oleh raja melalui sistem perwakilan dan sistem musywarah sehingga keputusan yang di putuskan oleh raja adalah sebagai ijma'.

Firman AIlah SWT:

Artinya: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103)

Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.

Firman Allah SWT:

Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115)

Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."

b. AI-Hadits

Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan bersama untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) .

Dari kutipan hadits diatas dapat diambil sebuah analogi bahwa para ulama tidak akan melakukan kebohongan dan kemaksiatan dengan jalan bersama-sama atau mereka sepakat untuk melakukan hal itu, karena para ulama’ adalah pewaris nabi sehingga tidak akan ada ulama yang melakukan persekonkolan untuk melakukan kemaksiatan. Sehingga dari itu dapat ditarik sebuah pedoman bahwa kesepakatan yang diambil atau di keluarkan oleh para ulama dengan jalan ijma’ maka produk hukum itu harus di patuhi dan dijalankan.

Sebuah hadits sebagai dasar untuk melakukan ijma’ mempunyai kedudukan pada peringkat kedua setelah al-Qur’an , sehingga menjadikan ketetapan yang dihasilkan melalui metode ijama’ mempunyai kedudukan yang tinggi artinya mempunyai kedudukan setelah al-qur’an dan hadits. Posisi yang di tempati pada peringkat ketiga ini menjadikan ijma’ sebagai ketetapan hukum yang di hasilkan dengan jalur kesepakatan bersama dengan mengacu kepada dua hukum sebelumnya yang mempunyai posisi lebih tinggi

c. Akal pikiran

Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nash pun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.

Untuk suatu metode dalam pencarian hukum islam tidak hanya berlandaskan pada tatanan nash atau dalil yang telah ada, tetapi perlu adanya suatu penggalan dari sebuah pikiran yang itu dapat mengembangkan suatu nash atau dalil yang ada dengan buah pikiran yang ada. Karena nash atau dalil yang telah adalah bersifat pada tatanan kejadian yang telah ada pada masa diturunkannya dan seajn bersifat tektualis landasan itu, jadi permasalahn yang ada pada masa sekarang yang mana perlu adanya hukum maka cara pengambilan hukum yang tepat adalah dengan suatu akal pikiran yang hal itu diambil dengan berlandaskan adanya dalil atau nash tersbut. Sebuah hal yang tidak mungkin adalah pengambilan suatu hukum hanya pada tataran dalil atau nash, karena jika hanya kedua itu yang digunakan sebuah dasar yang mutlak tanpa adanya suatu pemikiran maka hasil yang ada akan bersifat tidak demokratis dan tidak bersifat kontekstual dan akan bersifat lemah dan sulit untuk diterima karena produk hukum yang dihasilkan tidak sesuai dengan kondisi zaman yang ada atau dengan kata lain tidak bisa melihat realitas sekarang. Jadi sebuah akal pikiran diperlukan juga dalam ijma’ karena dalam hal ini akal pikiran mempunyai posisi yang penting juga dalam pengambilam hukum dengan cara ijma’.

D. Kemungkinan terjadinya ijma'

Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' dapat dibagi atas tiga periode, yaitu:

1. Periode Rasulullah SAW;

2. Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan

3. Periode sesudahnya.

Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.

Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.

Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.

Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;

2. Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.

Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma' lokal.

Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma', yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ' atau sebagai ahlul halli wal 'aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.

Hal yang demikian dibolehkan dalam agama Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.

IV. KESIMPULAN

Dari hal diatas yang telah kami paparkan maka kami dapat mengambil sebuah kesimpulan :

1. Ijma’ adalah keputusan hukum yang diambil bersama atau dengan kata lain kesepakatan ulama’

2. Macam-macam ijma’ terbagi dalam dua konsep yaitu dari segi terjadinya ijma’ dan dari yakin atau tidak terjadi sebuah ijma.

3. Tiga dasar dari ijma’ adalah al-qur’an, hadits, dan akal pikiran.

4. Sebuah hal tentang kemungkinan ijma’ adalah : Periode Rasulullah SAW; Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan Periode sesudahnya

V. PENUTUP

Demikian hal yang dapat kita paparkan semoga, apa yang telah kami berikan dapat memberikan suatu wacana walaupun sedikit. Tetapi penulis masih yakin apa yang telah kami lakukan belum dapat mendekati kepada sebuah kebenaran yang mutlak dan sermpurna. Jadi dari penulis mohon sebuah saran yang bersifat konstruktif demi kemaslahatan kita bersama. Akhir kata kami mohon maaf atas segala kekurangan yang ada.

REFERENSI

Haroen,Nasrun.Ushul Fiqh 1,Jakarta, Logs, 1996

Uman, Chaerul,. Ushul Fiqh 1, Bandung,Pustaka Setia, 2000

Umar, Muin, Ushul Fiqh 1, Dirjen RI,Jakarta, 1985

Permainan