Sabtu, Juni 07, 2008

Makalah STAIN Kudus

PEMIKIRAN POLITIK DALAM ISLAM

I. PENDAHULUAN

Politik sebagai acuan untuk mengatur negara dan bisa disebut juga sebagai cara untuk memperoleh kekuasaan negara. Ketika kita belajar dan berbicra mengenai politik. Maka langkah awal yang harus kita tempuh adalah mengetahui sebuah konsep pemikiran politik yang ada. Dan tidak cukup hanya mengetahui suatu strategi saja tetapi perlu adanya suatu landasan acuan yang mana hal itu dapat berfungsi sebagai kontroling yang mana dipegang dan di miliki oleh agama. maka di bawah ini adalah pemikiran-pemikiran politik yang berhubungan dengan sebuah konsep agama.

II. PEMBAHASAN

A. Tipologi Pemikiran Politik Islamic Organik Tradisional.

Tipe yang satu ini menyatakan bahwa islam adalah agama sekaligus sebagai negara (din wa daulah). Islam merupakan agama yang sempurna karena antara agama islam dan negara tidak bisa dilepaskan karena keduannya adalah dua entitas yang menyatu, dan organik sendiri mempunyai sebuah arti untuk menghegemoni artinya keputusan sang pemimpin secara tidak langsung adalah hukum tuhan yang mana harus di laksanakan dan di taati oleh orang yang ada di wilayah itu. Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi.

Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam yang memiliki tipologi seperti ini, Islam bukan sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik. Yang termasuk pelopor tipologi ini adalah Rasyid Ridha, Sayyid Qutub dan Abu l-‘ala al-Maududi.

Teori politik yang seperti ini sering di sebut juga dengan teori politik yang tak terpisahkan (integrated) antara agama dan negara. Dari pandangan beberapa tokoh yang menganut teori ini berpandangan bahwa wilayah agama dan negara tidak bisa di pisahkan oleh karena negara merupakan lembaga politik sekaligus lembaga keagamaan dan sekaligus negara diselinggarakan atas dasar kedaulatan tuhan (divine soverreignity) karena kedaulatan yang ada berasal dari tuhan. Dan pandangan inilah yang di sebut dengan fundamentalisme islam.

Menurut pandangan Al-Maududi syariat islam tidak mengenal adanya pemisahan antara agama dan negara karena dalam syariat agama sudah lengkap dan didalamnya sudah mengandung tentang pengaturan kehidupan manusia jadi syariat islam yang bersifat totalitas ini sudah sempurna dan komplit. Dan menurut Al-Maududi negara harus di dasar pada empat prinsip dasar yaitu, mengakui kadaulatan Tuhan, menerima otoritas Nabi, memiliki status Tuhan, dan menerapkan musyawarah. Dan dalam prinsip memiliki status Tuhan itulah yang menjadi sebuah dasar bahwa raja atau pemimpin adalah sebagai wakil Tuhan artinya wakil untuk mengambil atau membuat hukum baru, dan negara merupakan sebagai sarana untuk mengaplikasikan hukum tuhan.[1]

B. Tipologi Pemikiran Politik Islam Sekuler

Dalam tipologi pemikiran ini menyatakan bahwa agama islam tidak mengajarkan cara-cara pengajaran pengaturan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena Islam adalah agama murni bukan negara. Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Luthfi al-Sayyid.
setelah Syekh Ali Abd Al-Raziq seorang hakim syar’iyyah di Al-Mashur telah menerbitkan sebuah buku yang kontroversial yang menuntut untuk dihapuskannya kekhilafahan dan mengingkari eksistensinya dalam ajaran islam. Judul buku tersebut adalah Al-Islam wa Ushul al-Hukm.

Tesis utama dari buku ini adalah:

1. Nabi Muhammad tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spritual.

2. Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena umat Islam boleh memilih bentuk pemerintahan apa pun yang dirasa cocok.

3. Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem ini semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius.

4. Bahwa sistem ini telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam karena ia digunakan untuk meligitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam.

Masalah yang paling mendasar dalam karya Abd al-Raziq sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Diya al-Din Al-Rayis adalah pandangannya bahwa Islam tidak punya sangkut paut dengan masalah kekhalifahan. Menurutnya kekhalifahan, termasuk yang berada di bawah kekuasaan al-khulafa’ur al-Rasyidin bukanlah sistem Islam atau pun keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi.

Seperti prinsip yang di gunakan dalam kelompok Mu’tazilah adalah mereka memisahkan diri dari urusan yang berbau dengan politik, jadi kelompok pemikiran politik yang sekuler ini di dukung oleh kelompok mu’tazilah yang memang benar-benar memisahkan diri dari urusan keduniawian, sehinga para pengikut kelompok ini tidak ada yang masuk dalam struktur pemerintahan walaupun ada itu hanya sebagai perbuatan untuk menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Hal itu terbukti ketika pada masa pemerintahan Umayyah, kelompok ini tidak senang terhadap pemerintahan ini karena pemerintahan ini bersifat otoriter. Tetapi kaum Mu’tazilah tidak memperlihatkan sifat kebenciaannya dan tidak pula mengganggu jalannya pemerintahan. Mereka lebih suka berdiam diri di masijd dan belajar tentang ajaran islam yang sebenarnya..

Mu’tazilah ini disebut sebagai kelompok yang memisahkan diri dari politik, mereka tidak mendukung salah satu kubu yaitu kubu Muawiyah dan kubu Ali (Syiah). Pemikiran Mu’tazilah ini hampir sama dengan pemikiran kaum Khawarij, menurut kaum mu’tazilah pembentukan Imamah (pembentukan pemerintahan dan kepemimpinan) tidak harus berdasarkan syara’, melainkan berdasarkan pertimbangan rasio dan sesuai dengan tuntutan muamalah. Dan siapa yang berhak memegang imamah atau khalifah adalah bukan hak istimewa keluarga atau suku tertentu. Semua orang atau kelompok berhak untuk memegang imamah asalkan orang itu bisa memenuhi sebuah kualisifikasi yang di tentukan oleh kaum itu. Karena dalam hal ini tidak di sebutkan sebuah nash yang mewajibkan untuk memilih seorang imamah yang berhak khusus.

C. Tipologi Pemikiran Politik Islam Moderat (Simbiotik)

Berbeda dengan dua kecenderungan tipologi di atas adalah tipologi ketiga yang moderat. Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik. Yang termasuk pelopor tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal (lahir 1888), Muhammad Abduh (1862-1905), dan Fazlurrahman.

Kelompok ysng menganut atau mengajarkan sistem ini adalah kelompok khawarij, karena sistem yang di gunakan dalam kelompok ini setiap orang berhak menjadi raja atau pemimpin dan tidak di batasi dengan waktu asalkan pemimpin itu dapat mengemban amanat dari rakyat. Teori yang di gunakan dalam khawarij adalah manusia tidak memerlukan pemimpim, dan pemimpin itu di bentuk bila manusia menghendakinya.[2] Jadi sistem yang mereka terapkan adalah sistem demokrasi karena segala sesuatu yang berhubungan dengan rakyat di serahkan kepada rakyat, dan mereka tidak memprsoalkan siapa yang jadi dari suku, ras, agama mana mereka tidak memperdulikan asalkan orang yang jadi pemimpin mampu untuk menjalankan pemerintahan dan satu yang ada pada mereka adalah setiap raja atau pemimpoin yang murka adalah halal darahnya. Walaupun khawarij bersifat radikal tetapi kita harus bisa menganut sistem yang mereka gunakan. Karena pada sekarang sistem yang benar-benar demokratis tidak ada yang ada hanya sistem perebutan kekuasaan dan sistem berpihakan dan sistem golongan.

Wellhausen memandang bahwa pemahaman kaum khawarij terhadap al-Qur’an sangat mendalam dan baik serta saleh dan jujur. Sehingga menjadikan mereka benar-benar tahu apa yang ada dalam kandungan al-Qur’an hingga menjadikan mereka untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan secara kolektif apa yang ada dalam al-Qur’an. Tetapi menurut Abu Zahroh, kaum khawarij terdiri dari orang-orang Baduwi (masyarkat-masyarakat arab pinggiran) yang kurang mendalami al-Qur’an. Dan walaupun mereka mengetahui al-Qur’an hanya pada segi tekstualis dan berpegang pada arti lahiriah tetapi mereka sangat mempunyai keihlasan yang tinggi dalam melaksanakan perintah-perintah tuhan yang ada dalam al-Qur’an. Sehingga menjadikan khawarij ini mampu untuk menciptakan sebuah sistem pmerintahan yang sangta-sangat berpegang pada prinsip demokratis dan tidak mencampurkan urusan agama dalam urusan pemerintahan atau urusan manusia.

Karena urusan agama dan urusan pemerintahan itu sangat berbeda sekali, urusan agama itu berurusan dan di pertanggung jawabkan kepada Tuhan, tetapi sistem pengaturan manusia itu adalah urusan mausia yang mana itu harus di laksanakan dan di atur sendiri oleh mausia dan nantinya segala tanggung jawab di serahkan kepada manusia itu sendiri.

Dalam pemikiran politik yang satu ini hubungan antara agama dan negara bersifat saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Dalam hal ini agama sebagai pijakan untuk mensuplai dari segi moral dan disisi lain agama memerlukan negara sebagai sarana untuk pengembangan agama itu sendiri.[3]

Selain hal-hal diatas masih ada pemikiran politik dalam islam yang dikeluarkan oleh Gus Dur :

a. Negara dan Pemerintahan

Menurutnya bahwa islam tidak mempunyai sebuah format mengenai yang pasti tentang politik-kenegaraan, tetapi islam tidak akan terlepas dari itu dalam pengertian melakukan transformasi sosial-kemasyarakatan. Islam hanya menganjurkan untuk kemakmuran dan keadilan maka misi yang dibawa adalah untuk kemakmuran dan keadilan. Islam tidak memiliki konsep pemerintahan yamg definitive sehingga pemaksaan terhadap tatanan tunggal islam dalam negara tidak beralasan, tidak punya konsep yang jelas itu terbukti 13 tahun setelah wafatanya Rasullullah para sahabat telah menerapkan 3 model pemerintahan yaitu : bai’at, istikhlaf dan ahlul halli wal ‘aqdi. Inti dari itu semua adalah bahwa konsep pemrintahan adalah ijtihadi.

b. Wawasan Kebangsaan dan Ideologi Nasional

Dimensi kebangsaan dalam Islam menempati posisi penting dalam kaitan struktur politik masyarakat. Al-Qur’an sebenarnya sudah menyinggung entitas yang bernama ‘kebangsaan’ dalam firman-Nya: "Sesungguhnya telah Kuciptakan kalian dari jenis pria dan wanita dan Kujadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling bertaqwa". (QS. Al-Hujurat: 13).

Menurut Gus Dur, pengertian dalam ayat di atas agak berbeda dengan konsep Nation-State sekarang ini. Selanjutnya, ia mengatakan: Pengertian al-Qur’an terbatas hanya bangsa sebagai satuan etnis yang mendiami teritorial yang sama. Sedangkan wawasan kebangsaan di masa modern ini sudah berarti lain, yaitu satuan politis yang didukung oleh sebuah ideologi nasional. Penjelmaan pengertian ini adalah konsep negara-bangsa, ada yang pluralistik dalam etnis dan kulturalnya namun juga ada yang sederhana.

III. KESIMPULAN

Dari beberapa hal yang telah di tulis oleh pemakalah maka dapat diambil sebuah tiga jalan dasar mengenai perpolitikan atau pengaturan Negara yang ada dalam islam :

a. Negara dan agama harus bisa di satukan artinya urusan Negara adalah urusan agama, dan ketetapan pemimpin adalah termasuk ketetapan hukum agama karena pemimpin adalah wakil tuhan.

b. Agama dan Negara bersifat simbiotik karena Negara dan agama saling membutuhkan atau bersifat simbiotik, agama sebagai landasan moral dan Negara sebagai alat untuk pengembangan agama.

c. Dan yang terakhir adalah antara urusan agama dan agama tidak bisa di campur adukan karena keduanya sudah mempunyai posisi dan tempat masing-masing sehingga keduanya harus dipisah dan tidak boleh bersatu atau bercampur.

IV. PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami buat semoga apa yang telah kita pelajari mengenai tipologi pemikiran politik dalam islam dapat kita kembangkan dan kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi pemakalah masih merasa bahwa apa yang telah kami tulis jauh dari kesempurnaan maka untuk pemakalah masih mengharapkan masukan dari sahabat-sahabat dan bapak dosen agar nanti dapat lebih bermanfaat dan lebih lengkap dan jelas. Kata Terakhir dari pemakalah adalah kami minta maaf atas kesalahan dan ketidak kesempurnaan yang ada tentang makalah ini.

REFERENSI

Ø Hakim,. Masykur, Sufi Pun Berbicara politik, Pemikiran Politik Al-Ghazali, Fima Rodheta, Bekasi, Cet 1 Februari 2007.

Ø Moesa,. Ali Maschan, Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial Berbasis Agama, Lkis, Yogyakarta, Cet 1 Nopember 2007.

Ø Pulungan,. Suyuthi, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet 2 Oktober 1995.



[1]. Ali Maschan Moesa, Nasionalisme KIAi, kontruksi social Berbasis Agama, LKIS,Yogyakarta, Cet I 2007, Hlm :24.

[2] Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejaran dan pemikiran, PT.Raja Grafindo Raja,Jakarta, 1995 cet 2, Hlm :196

[3] Ali Maschan Moesa, Opcit hlm : 25

UNTUK BANGSA KU

UNTUK BANGSA KU

Wahai tuhan kami

Wahai pemimpin kami….

Wahai bangsa indonesia


Apa yang sedang kita alami

Apa yang sedang terjadi

Apa yang harus aku lakukan


Aku tak tahu

Aku tak mengerti


Ibu pertiwi kenapa engkau bersedih

Ibu pertiwi kenapa engkau menangis


Oh…..aku bingung

Aku sedih…


Ya……..

Sekarang aku tahu

Sekarang aku mengerti…..


Bangsa ini telah hancur..

Negeri telah sakit…

Hancur karena pemimpin kita

Sakit karena di sakiti pemimpin kita…


Oh…….tuhan

Berikanlah obat untuk bangsa dan negeri ini…

Berilah petunjuk Mu kepada para pemimpim bangsa dan negeri ini…

Permainan