Sabtu, April 12, 2008

ഇജ്മ

IJMA’

I. PENDAHULUAN

Suatu kepastian hukum adalah suatu hal yang harus ada. Karena hukum sendiri bersifat mengatur tata kehidupan manusia, hukum itu sendiri harus bisa memberikan kepastian dan kemanfaatan terhadap manusia. jadi kalau hukum tidak dapat memberikan suatu kemanfaatan pada manusia maka hal itu tidak bisa di gunakan dalam berpijak. mengingat sangat urgensnya hukum maka dalam pengambilan suatu hukum harus bisa bersifat demokratis. Tidak mungkin dalam pengambilan hukum harus meninggalkan yang namanya sistem demokrasi. Tidak hanya dalam pengambilan hukum yang bersifat formal atau hukum negara saja yang harus bersifat demokrasi tetapi hukum dalam tataran agama pun harus bisa bersifat demokratis dalam pengambilannya.

Dan ijma’ sendiri adalah salah satu cara untuk pengambilan hukum pada tataran agama. Jadi ijma’ harus bisa berrsifat demokratis, karena ijma’ sendiri berperan penting dalam pengambilan hukum. Karena ijma’ mempunyai pijakan yaitui kesepakatan yang di utamakan dalam mencari kepastian suatu hukum dalam bidang fiqh dan dalam hal ini cara yang di tempuh bersifat musywaraah mufakat dan tidak menggunakan suara terbanyak yang menang.

Tidak mungkin sekali bila sebuah kepastian hukum yang di gunakan oleh orang banyak dalam pengambilannya tidak menyinggung khalayak umum. Dari orang yang diperbolehkan untuk ikut ijma’ adalah orang-orang yang benar-benar mampu dalam bidangnhya. Konsesssus merupakan salah satu sandaran yang di gunakan dalam ijma’. Maka pemkalah akan memaparkan tentang pengertian ijma, macam-macam ijma’, dasar-dasar ijma’, kemungkinan terjadinya ijma’, untuk lebih jelasnya kami akan memaprkannya dibawah ini.

II. RUMUSAN MASALAH

  1. Pengertian ijma’?

B. Macam-macam ijma’?

C. Dasar-dasar ijma’ ?

D. Kemungkinan terjadinya ijma'

III. PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’?

Secara Etimologi ijma’ adalah berarti “kesepakatan” atau Konsessus. Artinya suatu kesepakatan dalam pengambilan bidang hukum dalam ilmu fiqh. Hal yang seperti ini di terangkan atau di jumpai dalam surat yusuf, 12: 15, yaitu :

Artinya : maka tatkala mereka membawa dan sepakat memasukkan kedasar sumur….

Dan pengerrtian yang kedua dari ijma’ adalah ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau dengan kata lain tekad atau niat (hal 51). Hal yang seperti ini ditemukan dalam surat yunus :10:71 : . antara pengertian yang pertama dengan yang kedua terdapat perbedaan yaitu pada segi kuantitas orang yang melakukan ketetapan hati. Arti yang pertama hanya cukup pada satu tekad orang saja, sedangkan yang kedua pada ketetapan tekad bersama hal itu bisa dilihat dari kata “kumpulkanlah” pada arti kata surat Yunus. Jadi kalu lebih ditekan mengenai pengertian diatas lebih menekankan pada pengertian kedua yang bisa di jadikan landasan yang besar dalam melakukan ijma’.

Adapun pengertian ijma’ secara Terminologi mempunyai beberapa rumusan ijma’, seperti yang dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh. Ibrahim ibn Al-Nazzam, salah satu tokoh mu’tazilah merumuskan Ijma’ dengan “setiap pendapat yang didukung dengan hujjah, sekalipun pendapat muncul dari seseorang”. Hal senada juga dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali bahwa ijma’ “kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang masalah agama”. Rumusan yang di berikan oleh imam Al-Ghazali memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad yaitu seluruh umat islam termasuk orang awam. Dan Al-Ghazali tidak mendefinisikan bahwa ijma’ harus dilakukan setelah nabi, karena ia memandang bahwa Rasullulah sebagai Syar’I (penentu/pembuat hukum) dan tidak memerlukan ijma’ lagi jadi al_Ghazali tidak perlu mendefinisikan lagi.

Rumusan ijma’ yang dikemukan oleh imam Al-Amidi yang mengikuti pandangan imam Syafi’I menyatakan bahwa ijma’ harus dilakukan oleh seluruh umat islam karena kesepakatan yang dilakukan bersama akan terhindar dari sebuah kesalahan. Tetapi imam Al-Amidi tidak mempatenkan pendapatnya itu karena imam Al-Amidi mempunyai rumusan lagi tentang ijma’ yaitu “kesepakatan sekelompok ahl al-hall wa al-‘aqdi yaitu sebuah rumusan yang menekankan kesepakatan pada sebuah kelompok dan pada suatu masa tentang masalah hukum fiqh. Rumusan ini mengisyaratkan bahwa yang terlibat dalam sebuah ijma’ tidak semua orang, melainkan orang tertentu yang bertanggung jawab kepada umat dan mampu untuk melakukan ijma’.

Menurut jumhur ulama’ ushul fiqh, merumuskan ijma’ sebagai “kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad dan setelah wafatnya muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum syar’i. Muhammad Abu Zahrah menambahkan sebuah kalimat di akhir derfinisi tersebut yaitu ijma’ harus bersifat hukum Amaliyah, artinya hasil yang di capai dalam ijma’ harus hukum yang bersifat furu’ (amaliyah praktis). Dan ijma’ disepakati oleh ulama ushul fiqh pada suatu masa tertentu artinya kesepakatan yang diambil harus oleh ulama’ yang ada pada masa itu atau dengan kata lain ulama’ yang hidup pada masa ditetapkan hukum itu, dan apabila ada ulama’ yang tidak sepakat maka keputusan yang ada belum bisa dikatakan dengan ijma, karena masih ada ulama yang tidak sepakat, jika hal itu dilihat dari segi pengertian dan maksud awal dari pengertian ijma’. Dan kesepakatan yang ada tidak harus oleh semua ulam’a tetapi cukup yang ada pada masa terjadi keputusan.

B. Macam-macam ijma’?

Seperti suatu hal mengenai landasan untuk mencari hukum dalam islam. Ijma’ mempunyai beberapa macam bentuk, yang mana dari masing-masing bentuk mempunyai peranan dan tingkatan keabsahan tersendiri. Hal itu semua bisa dilihat dari segi cara terjadinya ijma’ dan dari segi yakin atau tidaknya terjadi ijma’ adalah :

a. Bila di lihat dari segi cara terjadinya ijma’.

Hal ini adalah sebagai hal yang mana menerangkan bagaimana preses terjadi ijma’ bila dilihat dari segi cara terjadinya atau terbentuk. Cara terbentuknya ijma’ di bagi menjadi 2 bentuk ijma’ yaitu :

1. ijma’ Bayani yaitu suatu hukum yang ditetapkan oleh para ulama’ dengan tegas dan jelas, baik berupa tulisan atau ucapan, tanpa adanya suatu bantahan diantara para ulama, dan para ulama yakin bahwa hukum yang ditetapkan tidak ada kemungkinan berbeda dengan hukum yang telah di tetapkan sebelumya. Ijma’ yang seperti ini bisa dikatakan dengan ijma’ sharih atau lafzhi yang mana ijma’ ini adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap suatu masalah hukum, kesepakatan yang ditetapkan langsung dipaparkan atau diputuskan secara langsung setelah para mujtahid memaparkan pendapat masing-masing mengenai permasalahan yang ada.

Tetapi ijma’ yang seperti ini seperti yang dipaparkan oleh al-Nazam bahwa hal itu tidak akan terjadi, karena sangat jarang sekali untuk meghasilkan suatu kesepakatan bersama yang diambil dalam suatu majelis atau pertemuan yang dihadiri oleh seluruh mujtahid pada masa tertentu. Menurut ulama’ ushul fiqh bahwa apabila kejadian mengenai ijma’ yang seperti ini terjadi maka kesepakatan yang dihasilkan mengenai suatu hukum bisa dijadikan sebuah hujjah dan mempunyai kekuatan yang bersifat qath’I (pasti).

2. Ijma’ sukuti adalah ijma’ yang disetujui oleh sebagian ulama pada masa itu dan sebagian ynag lain hanya diam saja setelah mendengarkan pendapat dari sebagian ulama yang lain, atau dengan kata lain tidak memberikan pendapat dengan jelas dan tegas tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah ditentukan oleh ulama yang lain. Dan hokum yang dihasilakan tidak menyakinkan, oleh sebab itu ulama ushul fiqh menempatkannya sebagai dalil zhanni.

Ijma’ sukuti masih dalam perbedaan pendapat, bolehkah ijma’ sukuti menjadi hujjah atau tidak. Imam Syafi’I dan sebagian ulama-ulama Hanafi, seperti Ibnu iyan dan imam Al-Baqillani dari golongan Asy’ariyah menyatakan, bahwa ijma’ sukuti tidak dapat menjadi hujjah sebab masih ada kemungkinan ada ulama yang setuju dan adapula ulama yang tidak setuju. Tetapi mayoritas para ulama Hanafiyyah dan imam Ahmad ibn Hambal (164-241H/780-855M) mengatakan bahwa hal yang seperti itu bisa di katakan sebagai hujjah dan bersifat qath’I (pasti). Pendapat yang ketiga di keluarkan oleh Abu ‘Ali al-Jubbai (tokoh Mu’tazilah), ijma’ sukuti bisa dikatakan ijma’ apabila generasi mujtahid yang menyepakti mengenai suatu hokum itu telah habis, karena apabila mujtahid lain bersikap diam saja terhadap hukum yang disepakati sebagian mujtahid itu sampai mereka wafat, maka kemungkinan adanya mujtahiud yang membantah hokum tersebut tidak ada lagi. Al-Amidi mengambil suatu jalan tengah bahwa ijma’ sukuti tidak bisa dikatakan ijma’ tetapi dapat bisa dijadikan hujjah’ sedangkan kehujjahannya menurut mereka bersifat zhanni.

b. Di tinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’.

1. ijma’ qath’I yaitu hokum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’I diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hokum dari peristiwa atau kejadian yang telah di tetapkan berbeda dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain. Dalam bentuk ijma’ yang seperti para ushul fiqh yakin bahwa hasil dari hokum itu benar-benar betul tanpa adanya suatu kebimbangan, dengan hal itu menjadikan hukum yang di hasilkann menjadi yakin tanpa adanya suatu keraguan dan hukum yang dihasilkan sudah paten dan tidak ada kemungkinan yang lain. Kehujjahan ijma’ yang seperti itu benar-benar besar karena tidak ada perbedaan dengan ijma’ yang terdahulu.

2. Ijma’ Dhanni yaitu hukum yang dihasilkan dari ijma’ bersifat dhanni, karena masih ada kemungkinan lain bahwa dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu lain. Dengan begitu hukum yang diperoleh belum bisa diterima kehujjahnnya karena masih ada ulama yang belum bisa terima atau dengan kata lain masih ada keraguan m engenai kemungkinan yang akan terjasdi, sehingga menjadikan ijma’ dhanni ini sebagai ijma’ yangh belum bisa di terima kehujjahannya secara menyeluurh.

Selain kedua hal diatas menurut dalam kitab-kitab ushul fiqh terdapat pula macam-macam ijma’ yag dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang-orang yang melakukan atau melaksanakan ijma’ itu. Kesemuaya itu adalah :

1. Ijma’sahabat yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasullullah SAW.

2. Ijma’ khulafa-urrassyidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh khalifah Abu bakar, Umar Utsman dan Ali bin Abi Thalib.

3. Ijma’ syaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma’ ahli Madinah menurut madzhab Maliki adalah salah satu sumber hukum islam, tetapi Madzhab Syafi’I tidak mengakuiya sebagai salah satu sumber hukum islam.

4. Ijma’ ulama kufah yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama kufah. Madzab Hanafi menjadikan ijma’ ulama kufah sebagai salah satu sumber hukum islam.

C. Dasar-dasar ijma’ ?

Sebuah landasaan Dasar hukum yang menerabgkan tentang ijma’, yang mana menjadi pijkan dalam pengambilan hukum yang menggunakan sistem ijma’. Sebuah landasan atau dasar ijma' berupa ai-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran :

a. Al-Qur'an

Allah SWT berfirman:

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59)

Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid. Sehingga menjadikan hal itu sebagai salah satu mengenai ijam’. Karena raja atau pemimpin dalah pengayom seluruh masyarakat yang ada pada waktu itu, dan menjadikan pengendali masyarakat artinya seorang pemimpin adalah sebagai jalur tranmisi dalam pengambilan suatu hokum yamng menggunakan metode ijama’.

Sehingga dapat di pahami dan dimengerti bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin. Keputusan yang diambil oleh raja melalui sistem perwakilan dan sistem musywarah sehingga keputusan yang di putuskan oleh raja adalah sebagai ijma'.

Firman AIlah SWT:

Artinya: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103)

Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.

Firman Allah SWT:

Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115)

Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."

b. AI-Hadits

Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan bersama untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) .

Dari kutipan hadits diatas dapat diambil sebuah analogi bahwa para ulama tidak akan melakukan kebohongan dan kemaksiatan dengan jalan bersama-sama atau mereka sepakat untuk melakukan hal itu, karena para ulama’ adalah pewaris nabi sehingga tidak akan ada ulama yang melakukan persekonkolan untuk melakukan kemaksiatan. Sehingga dari itu dapat ditarik sebuah pedoman bahwa kesepakatan yang diambil atau di keluarkan oleh para ulama dengan jalan ijma’ maka produk hukum itu harus di patuhi dan dijalankan.

Sebuah hadits sebagai dasar untuk melakukan ijma’ mempunyai kedudukan pada peringkat kedua setelah al-Qur’an , sehingga menjadikan ketetapan yang dihasilkan melalui metode ijama’ mempunyai kedudukan yang tinggi artinya mempunyai kedudukan setelah al-qur’an dan hadits. Posisi yang di tempati pada peringkat ketiga ini menjadikan ijma’ sebagai ketetapan hukum yang di hasilkan dengan jalur kesepakatan bersama dengan mengacu kepada dua hukum sebelumnya yang mempunyai posisi lebih tinggi

c. Akal pikiran

Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nash pun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.

Untuk suatu metode dalam pencarian hukum islam tidak hanya berlandaskan pada tatanan nash atau dalil yang telah ada, tetapi perlu adanya suatu penggalan dari sebuah pikiran yang itu dapat mengembangkan suatu nash atau dalil yang ada dengan buah pikiran yang ada. Karena nash atau dalil yang telah adalah bersifat pada tatanan kejadian yang telah ada pada masa diturunkannya dan seajn bersifat tektualis landasan itu, jadi permasalahn yang ada pada masa sekarang yang mana perlu adanya hukum maka cara pengambilan hukum yang tepat adalah dengan suatu akal pikiran yang hal itu diambil dengan berlandaskan adanya dalil atau nash tersbut. Sebuah hal yang tidak mungkin adalah pengambilan suatu hukum hanya pada tataran dalil atau nash, karena jika hanya kedua itu yang digunakan sebuah dasar yang mutlak tanpa adanya suatu pemikiran maka hasil yang ada akan bersifat tidak demokratis dan tidak bersifat kontekstual dan akan bersifat lemah dan sulit untuk diterima karena produk hukum yang dihasilkan tidak sesuai dengan kondisi zaman yang ada atau dengan kata lain tidak bisa melihat realitas sekarang. Jadi sebuah akal pikiran diperlukan juga dalam ijma’ karena dalam hal ini akal pikiran mempunyai posisi yang penting juga dalam pengambilam hukum dengan cara ijma’.

D. Kemungkinan terjadinya ijma'

Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' dapat dibagi atas tiga periode, yaitu:

1. Periode Rasulullah SAW;

2. Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan

3. Periode sesudahnya.

Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.

Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.

Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.

Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;

2. Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.

Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma' lokal.

Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma', yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ' atau sebagai ahlul halli wal 'aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.

Hal yang demikian dibolehkan dalam agama Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.

IV. KESIMPULAN

Dari hal diatas yang telah kami paparkan maka kami dapat mengambil sebuah kesimpulan :

1. Ijma’ adalah keputusan hukum yang diambil bersama atau dengan kata lain kesepakatan ulama’

2. Macam-macam ijma’ terbagi dalam dua konsep yaitu dari segi terjadinya ijma’ dan dari yakin atau tidak terjadi sebuah ijma.

3. Tiga dasar dari ijma’ adalah al-qur’an, hadits, dan akal pikiran.

4. Sebuah hal tentang kemungkinan ijma’ adalah : Periode Rasulullah SAW; Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan Periode sesudahnya

V. PENUTUP

Demikian hal yang dapat kita paparkan semoga, apa yang telah kami berikan dapat memberikan suatu wacana walaupun sedikit. Tetapi penulis masih yakin apa yang telah kami lakukan belum dapat mendekati kepada sebuah kebenaran yang mutlak dan sermpurna. Jadi dari penulis mohon sebuah saran yang bersifat konstruktif demi kemaslahatan kita bersama. Akhir kata kami mohon maaf atas segala kekurangan yang ada.

REFERENSI

Haroen,Nasrun.Ushul Fiqh 1,Jakarta, Logs, 1996

Uman, Chaerul,. Ushul Fiqh 1, Bandung,Pustaka Setia, 2000

Umar, Muin, Ushul Fiqh 1, Dirjen RI,Jakarta, 1985

Tidak ada komentar:

Permainan