Senin, Juli 14, 2008

Peradilan Tata Usaha negara

RUANG LINGKUP KOMPETENSI

PERADILAN TATA USAHA NEGARA

I. PENDAHULUAN

Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar kekeuasaan negara, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif (Kehakiman). Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Psl 24 UUD 1945 (Perubahan) Jo. UU No. 4 Thn 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat. Dengan demikian lahirnya PERATUN juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Dari ketiga pilar negara tersebut diatas yang paling mempunyai peran besar adalah dalam pilar bidang eksekutif, maka untuk itu perlu adanya sebuah pengontrol untuk memmantau eksekutif ini. Salah satu bentuk kontrol yudisial itu atas tindakan administrasi negara adalah melalui lembaga peradilan, dalam hal ini adalah peradilan tata usaha negara yang di bentuk denga uu no. 5 th 1986, yang selanjutnya akrena daanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan uu no. 9 th 2004 sebagai pengganti ayas uu no. 5 th 1986.

Perubahan yang sangat mendasar dari UU No. 5 Tahun 1986 adalah dengan dihilangkannya wewenang pemerintah ic. Departemen Kehakiman sebagai pembina organisasi, administrasi, dan keuangan serta dihilangkannya wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan umum bagi hakim PERATUN, yang kemudian semuanya beralih ke Mahkamah Agung. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan indepedensi lembaga PERATUN. Di samping itu adanya pemberlakuan sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi (terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan PERATUN, menjadikan PERATUN yang selama ini dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai “macan ompong”, kini telah mulai menunjukan “gigi” nya.

Sejak mulai efektif dioperasionalkannya PERATUN pada tanggal 14 Januari 1991 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991, yang sebelumnya ditandai dengan diresmikannya tiga Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang, serta lima Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang. Kemudian berkembang, dengan telah didirikannya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di seluruh Ibu Kota Propinsi sebagai pengadilan tingkat pertama. Hingga saat ini eksistensi dan peran PERATUN sebagai suatu lembaga peradilan yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan mengadili sengketa tata usaha negara antara anggota masyarakat dengan pihak pemerintah (eksekutif), dirasakan oleh berbagai kalangan belum dapat memberikan kontribusi dan sumbangsi yang memadai di dalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat serta di dalam menciptakan prilaku aparatur yang bersih dan taat hukum, serta sadar akan tugas dan fungsinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat.

Maka dari itu agar dalam mengetahui tentang pengetahuan dalam PERATUN oleh sebab itu penulis akan membahas tengtang beberapa hal yang berkaitan dengan, ruang lingkup, dan kompetensi PERATUn. Untuk lebih jelasnya maka akan saya jabarkan dalam pembahasan berikut setelah ini.

II. PEMBAHASAN

  1. Ruang lingkup PTUN (Subjek, dan objek) Dalam PERATUN ?

Dalam kajian yang akan di bahas dalam ruanglingkup ini yang ada di peratun ada beberapa hal tang meliputi aspek yang sangat perlu untuk diketahui. Dan spek-spek itu dalah : bidang sengketa (Tata Usaha negara), Subjek sengketa(orang atau badan hukum perdata dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara), Objek Sengketa (Keputusan Tata Usaha Negara.). Suatu sengketa Tata Usaha Negara merupakan sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara. Oleh karena itu, yang harus diperhatikan adalah pengertian Tata Usaha Negara sehingga dapat diketahui batas-batas Tata Usaha Negara itu sendiri. Pasal 1 angka 1 UU-PTUN merumuskan Tata Usaha Negara yang berbunyi :“Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah”. Menarik untuk diperhatikan karena dalam rumusan ini ada dua istilah ,yaitu “Tata Usaha Negara” dan “Administrasi Negara”. Ketika masih RUU-PTUN, istilah “Administrasi Negara” tersebut tidak ada dan muncul setelah menjadi UU-PTUN. Bersamaan dengan itu muncul pula ketentuan Pasal 144 UU-PTUN yang menegaskan bahwa UU-PTUN dapat disebut Undang-Undang Peradilan Administrasi Negara. Dengan demikian, Tata Usaha Negara sama dengan Administrasi Negara. Istilah “Administrasi Negara” begitu penting untuk dicantumkan dalam UU-PTUN. Konsekuensinya jika istilah “Administrasi Negara” tidak dicantumkan dalam UU-PTUN. Di satu sisi, dipergunakan istilah (Peradilan) Tata Usaha Negara dengan maksud untuk menjaga sinkonronisasi perundang-undangan baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal dibuatnya istilah (Peradilan) Tata Usaha Negara agar sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis BesarHaluan Negara pada “Pola Umum Pelita Ketiga”di bagian “Politik, Aparatur Pemerintah, Hukum, Penerangan dan Pers, Hubungan Luar Negeri” dalam bidang “Hukum”.

Sedangkan secara horizontal agar sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (berikut perubahannya), Undang-undang Nomor 14 Tahun l985 tentang Mahkamah Agung (berikut perubahannya), maupun Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Ketiga undang-undang ini menggunakan istilah Peradilan Tata Usaha Negara. Jika tidak dipergunakan istilah Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya saja menggunakan istilah Peradilan Administrasi Negara, maka akan menimbulkan kekhawatiran bahwa Peradilan Administrasi Negara itu bukan merupakan peradilan sebagaimana yang dimaksud oleh peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pembentukannya. Atas dasar inilah maka UU-PTUN tetap konsisten menggunakan istilah (Peradilan) Tata Usaha Negara.

Meskipun demikian atas dasar pertimbangan teoritis akhirnya UU-PTUN menerima istilah (Peradilan) Administrasi Negara. Karena dalam literatur istilah Tata Usaha Negara mengandung pengertian yang sempit, yaitu hanya meliputi apa yang menjadi tugas pokok daripada kantor. Perihal batasan Tata Usaha Negara ini Prajudi Atmosudirdjo[1] merumuskan sebagai berikut :

Tata Usaha Negara (Bureaucracy) adalah keseluruhan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan ketatausahaan dalam dinas Administrasi Negara atau penyelenggaraan pemerintahan negara dengan jalan dan cara-cara rutin serta prosedur-prosedur tertentu (yang pada umumnya bersifat kaku atau infleksibel), yang antara lain terdiri atas surat-menyurat kedinasan negara, kearsipan, tata pendaftaran (registratiewezen), dokumentasi, ekspedisi, inventarisasi, pemuatan, dan penyimpanan surat-surat keputusan, statistisasi, legalisasi, dan sebagainya. Oleh beliau[2] dikatakan lebih lanjut bahwa mengenai hal-hal tersebut terdapat peraturan-peraturan, undang-undang, dan sebagainya yang seluruhnya dapat dihimpun menjadi Hukum Tata Usaha Negara. Hukum Tata Usaha Negara ini hanya merupakan salah unsur dari pengertian Hukum Administrasi Negara. Hukum Administrasi Negara itu merupakan hukum yang mengendalikan disiplin dan operasi daripada Administrasi Negara yang meliputi Tata Pemerintahan, tata Usaha Negara, Tata Organisasi dan Manajemen Rumah Tangga Negara, Tata Pembangunan Negara, dan Administrasi Lingkungan.

Dapat dikatakan apabila istilah (Peradilan) Administrasi Negara tidak dimuat dalam UU-PTUN maka jelas ruang lingkup kompetensi Peratun hanya terbatas pada Tata Usaha Negara saja dan tidak mencakup ruang lingkup istilah Administrasi negara secara keseluruhan. Maksud pembentuk undang-undang adalah membentuk Peratun yang mempunyai kompetensi yang luas sebagaimana tercakup dalam pengertian Administrasi Negara. Karena itulah, agar terpelihara adanya sinkronisasi perundang-undangan dan secara teoritis dapat dipertanggungjawabkan, maka pembentuk undang-undang mengambil jalan tengah, yaitu UU-PTUN menyamakan istilah Tata Usaha Negara dengan Administrasi Negara. Artinya, yang dimaksudkan Tata Usaha Negara oleh UU-PTUN itu adalah Administrasi Negara (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 144 UU-PTUN). Jadi dengan dimuatnya istilah (Peradilan) Administrasi Negara dalam UU-PTUN pada hakikatnya merupakan perluasan terhadap kompetensi Peratun.

Ruang lingkup bidang Tata Usaha Negara, menurut Pasal 1 angka 1 UU-PTUN adalah “urusan pemerintahan”. Adapun yang dimaksud dengan urusan pemerintahan itu berdasarkan penjelasan UU-PTUN adalah kegiatan yang bersifat eksekutif. Jika kita mengikuti UU-PTUN maka UU-PTUN masih menganut ajaran trias politika dan dengan demikian memberikan arti yang sempit terhadap bidang urusan pemerintahan, yakni kegiatan-kegiatan dalam eksekutif saja. Dalam perkembangan sekarang pada kenyataannnya penyelenggaraan urusan pemerintahan tidak lagi dapat dikotak-kotakan dalam kekuasaan-kekuasaan yang terpisah satu dengan yang lain dan urusan pemerintahan pada zaman sekarang ini bukan lagi terbatas pada pelaksanaan ketentuan peraturan-peraturan atau undang-undang saja. Ini berarti bahwa urusan pemerintahan bukan hanya kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam bidang eksekutif melainkan terdapat pula dalam bidang kekuasaan lain, baik dalam bidang legislatif maupun yudikatif. Karena itu adalah tepat apabila urusan pemerintahan itu diartikan secara luas dan tidak diartikan secara sempit sebagaimana dimaksud oleh UU-PTUN, yaitu kegiatan-kegiatan dalam bidang eksekutif saja.

Kemudian kriteria kedua, yaitu subjek dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah orang atau badan hukum perdata dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Memperhatikan ketentuan Pasal 4 (berikut penjelasannya) UU-PTUN, maka “orang” sebagai subjek sengketa Tata Usaha Negara bisa warga negara Indonesia maupun warga negara asing. Menurut hukum “orang” merupakan subjek hukum karena sebagai pendukung hak. Meskipun demikian tidak semua “orang” diperbolehkan bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-haknya melalui perbuatan hukum. Dengan perkataan lain, terdapat golongan “orang” yang menurut hukum dianggap “tidak cakap” untuk melakukan perbuatan hukum, misalnya orang yang belum dewasa (minderjarig) atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele).

Terhadap golongan “orang” yang menurut hukum “tidak cakap” untuk melakukan perbuatan hukum tersebut, apakah dapat mengajukan gugatan sendiri atau tidak dalam sengketa Tata Usaha Negara, UU-PTUN tidak mengaturnya. Dalam sengketa Tata Usaha Negara tidak mustahil subjek “orang” itu adalah mereka yang masih di bawah umur, misalnya Keputusan Tata Usaha Negara yang isinya memberhentikan seorang murid Sekolah Dasar (SD). Untuk mengatasi hal tersebut maka kita dapat menggunakan literatur dalam hukum perdata, yaitu harus diwakili oleh orang yang berhak untuk mewakili kepentingan golongan “orang” dimaksud.

Sekarang bagaimana halnya dengan pengertian “badan hukum perdata” sebagai subjek dalam segketa Tata Usaha Negara. Sama halnya dengan subjek “orang”, UU-PTUN juga tidak memberi batasan untuk dapat menentukan suatu “badan hukum perdata”. Karena itu guna mencari tahu pengertian badan hukum perdata, sekali lagi, kita harus membuka literatur dalam hukum perdata.

Sebagaimana diketahui bahwa perjanjian merupakan dasar pendirian persekutuan. Pengertian persekutuan itu sendiri dirumuskan dalam Pasal 1618 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) sebagai berikut :“Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan dirinya untuk memasukan sesuatu (inbreng) ke dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan (kemanfaatan) yang diperoleh karenanya”. Jadi untuk dapat disebut sebagai persekutuan, maka dalam perjanjian harus terkandung maksud untuk mencari keuntungan. Apabila dalam perjanjian tidak terkandung maksud untuk mencari keuntungan, maka hal ini dikenal dengan nama perkumpulan. Sebagaimana dikemukakan oleh Indroharto[3] bahwa menurut yurisprudensi AROB suatu perkumpulan dapat dianggap sebagai suatu badan hukum diperlukan 3 (tiga) syarat yaitu :

1. adanya lapisan anggota-anggota; hal ini dapat dilihat pada pengadministrasian anggota-anggotanya;

2. merupakan suatu organisasi dengan suatu tujuan tertentu; sering diadakan rapat anggota, diadakan pemilihan pengurus, adanya kerja sama antara para anggota dengan tujuan fungsionil secara kontinyu;

3. ikut dalam pergaulan lalu lintas hukum sebagai suatu kesatuan; umpama rundingan-rundingan dengan instansi-instansi pemerintah selalu sebagai suatu kesatuan, mengajukan gugatan atau keberatan sebagai suatu kesatuan.

badan hukum itu oleh beberapa para ahli hukum sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Chaidir Ali antara lain memberikan batasan sebagai berikut :

1. R.Subekti.

“Badan hukum adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim”.

2. Meyers.

“Badan hukum adalah meliputi sesuatu yang menjadi pendukung hak dan kewajiban”.

3. Wirjono Prodjodikoro.

“Badan hukum adalah badan yang di samping manusia perseorangan juga dapat dianggap bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain”.

Jadi agar mempunyai kapasitas sebagai “badan hukum perdata” sehingga dengan demikian dapat menjadi subjek dalam sengketa Tata Usaha Negara maka persekutuan-persekutuan maupun perkumpulan-perkumpulan harus memenuhi syarat sebagai badan hukum perdata. Jika tidak, maka gugatan yang diajukan akan dinyatakan tidak diterima meskipun mereka dituju oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara.

Dalam hukum acara Peratun “orang atau badan hukum perdata” lah yang mempunyai hak untuk menggugat. Dalam hal bagaimana hak untuk menggugat itu dapat dipergunakan, yaitu apabila orang atau badan hukum perdata merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, demikian ditentukan oleh Pasal 53 ayat (1) UU-PTUN yang berbunyi antara lain : “Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan …”. Ini berarti gugatan dapat diajukan baik oleh mereka yang dituju oleh Keputusan Tata Usaha Negara maupun oleh pihak ketiga, yaitu mereka yang tidak dituju oleh Keputusan Tata Usaha Negara. Mereka baru dapat menggunakan haknya untuk mengajukan gugatan apabila merasakan ada kepentingan yang dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Pengertian kepentingan itu sendiri dalam kaitannya dengan Hukum Acara Peratun, menurut Indroharto[4] mengandung dua arti, yaitu :

1. Nilai yang harus dilindungi oleh hukum.

Nilai yang dilindungi dapat bersifat menguntungkan maupun merugikan (baik materiil atau immateriil, individual atau umum) yang timbul atau mungkin akan timbul oleh keluarnya Kepurusan Tata Usaha Negara. Bobot nilai yang harus dilindungi oleh hukum ditentukan oleh dua faktor, yaitu :

a. Faktor yang berkaitan dengan penggugat.

Suatu kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum baru ada apabila kepentingan tesebut :

1). Ada hubungannya dengan penggugat itu sendiri artinya penggugat harus mempunyai kepentingan sendiri.

2). Bersifat pribadi artinya penggugat memiliki suatu kepentingan untukmenggugat yang jelas yang dapat dibedakan dengan kepentingan orang lain.

3). Bersifat langsung artinya yang terkena secara langsung itu adalah kepentingan penggugat sendiri dan kepentingan tersebut bukan diperoleh dari orang lain.

4). Secara objektif dapat ditentukan baik luas maupun intensitasnya.

Kepentingan yang bersifat materiil tidak mengalami kesulitan dalam menentukan. Dalam menentukan adanya kepentingan immateriil, maka kepentingan itu selain bersemayam dalam diri penggugat sendiri juga secara objektif bersemayam dapat pendapat umum. Selain itu kepentingan yang bersifat immaterial harus pula dapat ditentukan bahwa kepentingan itu melekat pada penggugat sendiri, bersifat pribadi, dan melekat secara langsung kepadanya.

b. Faktor yang berhubungan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

Di sini penggugat harus dapat menunjukkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang digugatnya itu merugikan dirinya secara langsung. Hanya Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki oleh Badan atau Pejabat tata Usaha Negara yang mengeluarkannya sajalah yang mempunyai arti untuk digugat.

2. Kepentingan proses artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses gugatan yang bersangkutan. Di sini harus menggambarkan adanya suatu kepentingan yang hendak dicapai tentang mengapa dilakukan proses gugatan. Bila ada kepentingan maka baru boleh berproses.

Sekarang bagaimana kita menentukan subjek sengketa Tata Usaha Negara yang dapat dikatagorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Untuk itu terlebih dahulu dikutip rumusan otentik yang diberikan oleh Pasal 1 angka 2 UU-PTUN berbunyi :“Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dari rumusan tersebut terdapat 2 (dua) kriteria untuk menentukan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yaitu :

1. Melaksanakan urusan pemerintahan.

2. Berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Kriteria yang pertama untuk dapat didudukan sebagai Badan atau pejabat Tata Usaha Negara adalah melaksanakan urusan pemerintahan. Jadi bagi mereka yang tidak melaksanakan tugas urusan pemerintahan tidak dapat disebut sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Perihal ruang lingkup urusan pemerintahan sudah dijelaskan sebelumnya.

Kriteria kedua yang dipenuhi agar dapat disebut sebagai Badan atau Pejabat tata Usaha Negara adalah bahwa dalam melaksanakan urusan pemerintahan harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan dimaksud UU-PTUN membedakan ke dalam dua jenis, yaitu :

1.Semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan rakyat bersama pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

2.Semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata usaha negara,baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah,yang juga bersifat mengikat secara umum.

Untuk jenis peraturan-perundang-undangan tersebut pertama, jika dihubungkan dengan pembagian undang-undang dari P. Laband[5] merupakan undang-undang dalam arti formil (dilihat dari segi bentuknya dibuat oleh pembentuk undang-undang, baik itu undang-undang yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, Peraturan daerah propinsi, Kota maupun kabupaten) maupun dalam arti materiil (tiap keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara – tidak peduli bentuknya/cara terjadinya yang menurut isinya langsung mengikat para penduduk sesuatu wilayah). Sedangkan jenis peraturan perundang-undangan yang kedua merupakan undang-undang dalam arti materiil yang dikenal dengan istilah “peraturan”.

Dari kedua kriteria di atas dapatlah dikatakan bahwa yang dapat disebut sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah siapa saja yang memiliki tugas yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan urusan pemerintahan. Dengan demikian, untuk menentukan suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara atau bukan, kriterianya ditekankan pada fungsinya. Apabila fungsinya itu adalah dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka dapat disebut sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Jadi bukan saja dilihat dari segi kedudukannya secara struktural termasuk dalam organ pemerintahan.

Karena kriterianya adalah sebagaimana telah dijelaskan di atas maka tidak tertutup kemungkinan bahwa pihak swasta pun dapat berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara asalkan memenuhi kedua kriteria tersebut di atas. Dalam perkembangannya, masalah penyelenggaraan urusan pemerintahan itu sekarang bukan lagi dominasi/monopoli organ-organ pemerintahan. Pihak swasta kini dapat pula menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Misalnya di bidang pendidikan dengan berdirinya berbagai sekolah atau perguruan tinggi swasta, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), dan sebagainya.

Meskipun telah memenuhi kedua kriteria di atas, namun Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut belum dapat digugat atau dijadikan tergugat. Untuk didudukan sebagai tergugat maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara harus telah mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. Selama belum ada wujud secara konkret berupa Keputusan Tata Usaha Negara maka selama itu Badan atau pejabat Tata Usaha Negara belum dapat digugat. Dengan kata lain, Badan atau Pejabat tata Usaha Negara baru dapat digugat apabila telah mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 UU-PTUN yang selengkapnya berbunyi :“Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya,yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.”

Ketentuan tersebut pada hakikatnya merupakan pembatasan terhadap ruang lingkup kompetensi Peratun. Dikatakan pembatasan oleh karena dengan ketentuan tersebut berarti hanya Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menggunakan wewenangnya untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang berwujud Keputusan Tata Usaha Negara sajalah yang dapat sebagai tergugat dalam sengketa Tata Usaha Negara. Jika dianut secara luas maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menggunakan wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat dijadikan tergugat dalam sengketa Tata Usaha Negara, meskipun tidak ada wujud konkret berupa Keputusan Tata Usaha Negara.

Apabila rumusan Pasal 1 angka 2 dihubungkan dengan Pasal 1 angka 6 UU-PTUN maka dapat dikatakan bahwa untuk dapat dijadikan tergugat maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara telah menggunakan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan (wewenang yang dimiliki oleh Badan atau pejabat tata Usaha Negara hanya bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saja) dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan. Wujud konkret penggunaan wewenangnya tersebut adalah berupa Keputusan Tata Usaha Negara. Ini berarti meskipun Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menggunakan wewenangnya tetapi tidak terdapat wujud konkret berupa Keputusan Tata Usaha Negara maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan tidak dapat dijadikan tergugat dalam sengketa Tata Usaha Negara.

Setelah diuraikan tentang seluk beluk subjek dalam sengketa Tata Usaha Negara di atas, kini saatnya untuk menguraikan tentang objek sengketa Tata Usaha Negara, yaitu Keputusan Tata Usaha Negara. Secara otentik pengertian Keputusan Tata Usaha Negara dirumuskan dalam Pasal 1 angka 3 UU-PTUN yang selengkapnya berbunyi : “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Dari rumusan tersebut kita dapat mengetahui tolok ukur untuk menentukan ruang lingkup Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dapat dijadikan objek sengketa Tata Usaha Negara, yaitu :

1. Penetapan tertulis.

2. Dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara.

4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Bersifat konkret, individual, dan final.

Ad.1. Penetapan tertulis

Penetapan Tertulis itu harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu tindakan hukum yang pada dasarnya juga merupakan Keputusan TUN yang dikeluarkan secara lisan tidak masuk dalam pengertian Keputusan TUN ini. Namun demikian bentuk tertulis tidak selalu disyaratkan dalam bentuk formal suatu Surat Keputusan Badan/Pejabat TUN, karena seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986, bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk formalnya akan tetapi asal terlihat bentuknya tertulis, oleh karena sebuah memo atau nota pun dapat dikategorikan suatu Penetapan Tertulis yang dapat digugat (menjadi objek gugatan) apabila sudah jelas:

- Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkannya.

- Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu.

- Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat konkrit, individual dan final.

- Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata

Ad.2. Dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

Siapa yang dapat dikualifikasikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sudah dijelaskan pada uraian sebelumnya. Hal yang harus diingat adalah bahwa untuk mengkualifikasikan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara jangan dilihat dari segi strukturnya tetapi dilihat arti segi fungsinya dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan (tidak melaksanakan fungsi membuat undang-undang dan mengadili) berdasarkan wewenangnya yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Ad.3. Berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN.

Ad.4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN (pemerintah). Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa wewenang Badan atau Pejabat TUN untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ad.5 Bersifat konkret, individual, dan final

Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, seperti Pemberhentian si X sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan sebagainya.

Bersifat Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun hal yang dituju. Jadi sifat indivedual itu secara langsung mengenai hal atau keadaan tertentu yang nyata dan ada. Bersifat Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang definitif. Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum yang definitif tersebut ditentukan posisi hukum dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada saat itulah dikatakan bahwa suatu akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan TUN yang bersangkutan secara final. Jika suatu keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara telah memenuhi kelima unsur di atas maka secara yuridis formal hal itu merupakan KTUN dalam pengertian menurut UU-PTUN.

B. WEWENANG PERATUN ?

Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas dan wewenang : “memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku “ (vide Pasal 50 Jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004).

Secara yuridis, menurut Indroharto pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Hal senada juga diberikan oleh S.F.Marbun[6] bahwa wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam memperoleh wewenang tersebut dapat melalui dua cara pokok yaitu memalui atribusi dan delegasi (perhatikan Pasal 1 angka 6 UU-PTUN anak kalimat “berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya”). Selain itu, wewenang dimaksud dapat juga diperoleh melalui mandat.

Atribusi berasal dari bahasa latin, yaitu attributio artinya ciri atau tanda yang melekat pada sesuatu dan oleh karena itu, tidak dapat ditukar-tukar. Pada atribusi telah terjadi pemberian suatu wewenang baru oleh suatu peraturan perundang-undangan (baik dalam arti formil dan/atau materiil). Di sini peraturan perundang-undangan telah melahirkan atau menciptakan wewenang baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana pun dan setelah tercipta wewenang itu hanya dimiliki (sebagai ciri atau tanda) oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Wewenang yang diperoleh melalui atribusi ini merupakan wewenang yang diperoleh secara orisinil (asli) karena wewenang tersebut merupakan wewenang yang baru, yang sebelumnya belum pernah ada dan langsung diciptakan dan diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Pertanggungjawaban terhadap wewenang dimaksud dibebankan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang ditunjuk langsung oleh peraturan perundang-undangan dan tidak kepada siapa pun selain yang bersangkutan sendiri.

Sedangkan wewenang yang diperoleh melalui delegasi merupakan wewenang yang diperoleh secara tidak orisinil artinya sebelumnya telah ada yang memiliki wewenang tersebut. Jadi pada delegasi telah terjadi pelimpahan wewenang oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara lainnya. Karena itu suatu delegasi selalu didahului oleh adanya wewenang atribusi. Delegadi atau pelimpahan wewenang demikian harus dilakukan melalui peraturan perundang-undangan.

Pada pelimpahan wewenang, pertanggungjawaban dibebankan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerima pelimpahan wewenang dan bukan kepada yang melimpahkan wewenang. Pada wewenang yang diperoleh melalui mandat maka yang menerima mandat hanya sebagai pelaksana wewenang yang dimiliki oleh yang memberi mandat. Pelaksanaan wewenang berdasarkan mandat pada umumnya terjadi karena hubungan rutin antara atasan dan bawahan. Pertanggunganjawaban terhadap semua tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima mandat dibebankan kepada pemberi mandat.

Dalam pada itu juga harus diingat bahwa secara teoritis dikenal adanya hukum yang tidak tertulis sebagai sumber Hukum Administrasi Negara.Karena itu, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang melakukan tindakan hukum Tata Usaha Negara selain harus dapat menemukan sumber wewenangnya dalam ketentuan-ketentuan hukum yang juga harus memperhatikan hukum yang tidak tertulis yang dikembangkan oleh teori hukum maupun yurisprudensi yang dikenal dengan sebutan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

III. KESIMPULAN

- Ruang Lingkup yang ada dalam PERATUN ada tiga aspek (Bidang) yang ada, aspek-aspek itu meliputi : : Bidang Sengketa (Tata Usaha negara), Subjek Sengketa (orang atau badan hukum perdata dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara), Objek Sengketa (Keputusan Tata Usaha Negara.)

- Wewenang PERATUN adalah untuk memeriksa memutus dan mnyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.

IV. PENUTUP

Demikian hal yang dapat saya susun semoga, apa yang telahay berikan dapat memberikan suatu wacana walaupun sedikit. Tetapi penulis masih yakin apa yang telah saya lakukan belum dapat mendekati kepada sebuah kebenaran yang mutlak dan sermpurna. Jadi dari penulis mohon sebuah saran yang bersifat konstruktif demi kemaslahatan bersama. Akhir kata saya mohon maaf atas segala kekurangan yang ada.

Daftar Pustaka

- E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Hukum Indonesia, Buku Indonesia, Jakarta, cet. 2.

- F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administratif Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997,

- Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996

- Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, edisi Revisi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara



[1] . prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara,Edisi Revisi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 71.

[2] .Ibid, Prajudi Atmosudirjo

[3] Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,Buku II Beracara Di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hlm. 46.

[4] Indroharto, Ibid., hlm. 37.

[5] .Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, Jakarta, Cetakan Kedua, hlm. 71.

[6] F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administratif Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hlm. 154.

Tidak ada komentar:

Permainan